Peristiwa Seputar Proklamasi 17 Agustus 1945 dan Mempertahankan Kemerdekaan
6 dan 9 Agustus 1945 menjadi peristiwa yang sangat menghancurkan Jepang dan menguntungkan bagi Indonesia untuk memproklamirkan kemerdekaannya, setelah empat setengah tahun diduduki Jepang. Dua kota terpenting Jepang dibom atom oleh Sekutu.
Para pemuda ingin memanfaatkan momentum tersebut namun Soekarno masih ragu akan kekalahan Jepang dalam menghadapi Sekutu. Tanggal 16 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta diamankan ke Rengasdengklok oleh para pemuda waktu itu.Â
Lanjut malam harinya, kedua tokoh yang disebut Dwi tunggal, dibawa ke rumah Laksamana Maeda. Lalu dirumuskanlah Teks Proklamasi. Ada beberapa tokoh seperti Soekarno, Moh. Hatta, B.M. Diah, Sayuti Melik dan (Mbah) Sudiro.
Sampai tengah malam, teks proklamasi selesai disusun. Tulisan tangan Soekarno diketik oleh Sayuti Melik. Mesin ketik diambil dari kantor perwakilan Angkatan Laut Jerman, milik Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler.
Singkat cerita, tanggal 17 Agustus dibacakanlah teks proklamasi oleh Soekarno meski dalam kondisi sakit. Semula proklamasi akan dilaksanakan di lapangan Ikada, namun pada akhirnya dilaksanakan di rumah Soekarno, Jalan Pegangsaan 56 Jakarta Pusat.
Semangat juang para pahlawan terus menyala. Harta dan nyawa dipertaruhkan demi kedaulatan negara. Patut menjadi teladan bagi generasi masa kini yang hanya memikirkan kepentingan pribadi.
Pada masa mempertahankan kemerdekaan, persatuan dan kesatuan terbukti bisa mengalahkan bangsa penjajah. Perasaan senasib, dan cinta tanah air menjadi pendorong untuk terus berjuang.
Dasar Negara sebagai kesepakatan pendiri bangsa menjadi fondasi kuat dalam mengisi kemerdekaan
Bangsa Indonesia telah mengalami banyak peristiwa sejarah yang berkaitan dengan usaha mencegah perseteruan dan perpecahan akibat perbedaan agama, suku bangsa dan kebudayaan.Â
Semua itu bisa dijalani karena dasar negara yang sudah disusun dan termaktub dalam Piagam Jakarta yang disusun Panitia Sembilan. Pada akhirnya Piagam Jakarta ini pada sila pertama dihilangkanlah tujuh kata yang sekiranya bisa mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa.
Pada Piagam Jakarta, 22 Juni 1945, sila pertama berbunyi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Tujuh kata terakhir dihilangkan dan diubah menjadi Ketuhanan yang Maha Esa demi menjaga keutuhan negara. Sedangkan sila-sila yang lain sudah final.Â
Lagi pula jika rakyat tak mengetahui sejarah bangsanya atau buta sejarah maka mereka akan mudah dihasut oleh pihak-pihak yang menginginkan Indonesia stagnan atau bahkan mundur.
Saya ingat ketika masih SD, ada pelajaran PMP ---Pendidikan Moral Pancasila---. Oleh almarhumah guru saya selalu ditekankan bahwa segala bentuk budaya yang masuk di Indonesia harus difilter. Filter itu adalah Pancasila.Â
Jika sesuai dengan kepribadian dan nilai-nilai Pancasila ya boleh ditiru. Sedangkan nilai-nilai budaya negara lain yang berseberangan dengan nilai Pancasila, tak boleh ditiru, apalagi dikembangkan dan dipelihara.
Indonesia memang sudah merdeka, 75 tahun tepatnya. Namun pelaksanaan nilai-nilai Pancasila semakin memprihatinkan. Satu sama lain saling curiga, menganggap pihak satu sangat baik, sementara pihak lain buruk.
Nilai-nilai Pancasila yang harusnya dilaksanakan, nyatanya malah banyak diterabas. Entah bagaimana itu terjadi. Ya, mungkin tak ada Pendidikan Pancasila secara khusus seperti dahulu.
Para siswa saat ini tidak diberikan materi butir-butir Pancasila seperti dahulu. Kalau zaman dulu saya sekolah, paling tidak para siswa hafal masing-masing sila terdapat berapa butir-butir Pancasila.
Sekarang memang segala sesuatu bisa dicari di internet termasuk butir-butir Pancasila. Namun fokus belajar siswa tak lagi tentang contoh dan pelaksanaan sila-sila Pancasila.Â
Jika kita belajar Pancasila yang baik dan benar maka akan menyadari bahwa saat ini kita mengisi kemerdekaan. Kebebasan kita tentu dibatasi oleh sila-sila Pancasila.Â
Negara bebas bekerja sama dengan negara manapun, asal kepentingan rakyat di atas segalanya. Namun itu masih menjadi PR bagi semua pemimpin bahwa negara memang bebas dari penjajahan fisik namun secara ekonomi, sosial, budaya kondisi Indonesia terjajah.Â
Meski demikian, kita boleh optimis, Indonesia bisa maju jika persatuan dan kesatuan dijaga dan dasar negara tak diotak-atik. Dasar negara adalah fondasi kuat.Â
Kita ibaratkan jika fondasi bangunan diubah maka berubahlah seluruh bangunan yang ada, mulai dari bentuk hingga nilainya. Begitu juga negara, jika fondasi negara diubah, negara sudah berubah. Bukan lagi NKRI.
Pada akhirnya, momen hari kemerdekaan Indonesia tahun ini bisa kita jadikan sebagai perekat persatuan dan kesatuan yang sempat terkoyak. Dirgahayu Republik Indonesia, jayalah negeriku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H