Dunia anak selalu ceria. Seceria mereka dalam kesehariannya. Diwarnai dengan bermain dan tawa. Namun sebagai generasi penerus bangsa, anak harus tetap dididik dan dilatih agar mau belajar dan mencintai dunia literasi. Demi masa depannya.
Sebagai orangtua atau pendidik harus kreatif agar anak dekat dengan dunia literasi. Selagi masih anak-anak, mereka harus dikenalkan dengan buku atau bacaan lainnya.
Seumuran anak TK dan awal SD (kelas bawah), bacaan yang menyenangkan harus disuguhkan. Penuh warna dan gambar dengan ukuran tulisan yang bersahabat bagi anak. Gambar dan warna akan membuat anak lebih tertarik untuk belajar. Karenanya banyak produksi buku untuk anak yang full gambar dan full colour.
Literasi bagi anak layaknya bagi remaja hingga orang dewasa. Tak hanya membaca, menyimak, mendengar, namun juga menulis. Anak-anak perlu dilatih menulis agar segala imajinasi kanak-kanak mereka bisa disalurkan dengan hal yang positif.
Orangtua atau pendidik harus mengawal dan mendampingi demi terciptanya generasi yang cinta literasi. Apa saja yang bisa dilakukan orangtua atau pendidik?
Pertama, mengajak anak untuk menggambar sederhana dari cerita atau kisah yang didengar atau dibaca.
Dalam tahap awal, sebelum anak lancar membaca, pasti anak sering diajak mendengar atau menyaksikan tayangan televisi. Bahkan sering dibacakan dongeng sebagai pengantar tidur. Dari kegiatan anak tersebut orangtua atau pendidik bisa meminta anak untuk menceritakan ulang kisahnya. Tentu dengan cara lisan.Â
Menceritakan secara lisan, diupayakan dengan Bahasa Indonesia. Akan tetapi jika hal itu dirasa masih sulit, maka boleh dengan bahasa daerah.Â
Misalnya saja anak menyaksikan film kartun Upin dan Ipin, Dora Emon, Spongebob dan sebagainya. Orangtua atau pendidik, pertama kali bisa menanyakan siapa tokoh yang ada dalam kartun. Baru kemudian menanyakan sifat atau peristiwa yang dialami dalam seri atau episode yang ditonton.
Jika anak kesulitan untuk menceritakan, bantu dan pandu secara pelan kepada anak untuk mengisahkannya. Bagaimanapun anak baru belajar mengemukakan atau menyampaikan hal yang dilihat atau dirasakan.
Nah kalau sudah selesai, orangtua atau pendidik bisa mengajak belajar menggambarkannya. Sebagai contoh, orangtua, guru atau pendidik mendongeng tentang kisah petani yang rajin, jujur. Suatu saat petani itu menemukan seekor burung tergeletak di tanah. Rupanya burung itu kakinya patah.
Dari kisah tadi, anak diajak berimajinasi. Orangtua bisa menanyakan apa yang terlintas di pikiran anak dan yang perlu digambarkan ketika mendengar kisah tadi.
"Nak, menurutmu yang perlu digambar dari kisah tadi apa?"
Jika anak kesulitan juga, ulangi cerita tadi. Biar anak bisa lebih menyimak dan memahami cerita yang didengarnya.
"Mmm... petani, Bu."
"Iya. Terus apa lagi?"
"Burung."
Berikan pujian untuk anak dari jawaban yang diberikan anak. Lalu ajak anak menggambar petani dan burung yang jatuh di tanah.
Petani bisa digambarkan dengan sesosok lelaki bertopi caping. Bisa dalam posisi berdiri, atau jongkok. Petani bisa memegang cangkul atau cangkul berada di samping petani. Di depan petani, digambar burung yang terkulai di tanah.
Gambar cerita tadi sebenarnya sudah mewakili kisah yang sudah dibacakan atau diceritakan. Namun untuk penyempurnaan, anak-anak diajak untuk menjawab pertanyaan.Â
Pertanyaan itu antara lain,Â
Petani biasanya kerja di mana? (Anak akan menjawab, "di sawah")
Di sawah ada apa saja? (Anak akan menjawab, "orang-orangan, gubuk, padi.")
Kapan petani berada di sawah? (Anak akan menjawab, "pagi sampai sore")
Nah dari tanya jawab tadi, bisa ditambahkan pada gambar yang sudah dibuat sebelumnya. Tentu orangtua atau pendidik juga ikut menggambar ya. Anak-anak masih perlu diajari menggambar juga soalnya.
Tambahkan gambar sawah, gubuk, padi, orang-orangan serta matahari. Kalau sudah, barulah anak diajak untuk mewarnai gambar mereka agar lebih menarik.
Dari gambar yang sudah disempurnakan dengan pewarnaan tadi akan merangsang anak untuk menceritakan lagi kisah yang didengarnya.
Kalau sudah seperti itu, anak bisa dilatih menceritakan ulang secara tertulis. Dengan kalimat mereka sendiri. Sebisa mereka  Orangtua atau pendidik hanya perlu mengoreksi isi tulisan jika ada hal yang kurang tepat.
Ya memang anak bisa belajar dari sebuah kisah, kejadian atau cerita yang dilihat atau didengar. Digambar dengan menarik lalu dituliskan.Â
Hanya saja menuliskan kembali cerita juga perlu kelancaran anak dalam menulis. Jika anak belum lancar menulis, lebih baik diajak menggambar dulu. Namun anak harus terus dilatih menulis agar kemampuan membaca juga terasah.
Dengan demikian, orangtua atau pendidik akan enjoy dalam mendidik baca, tulis bagi anak. Harapannya si anak ke depannya terlatih dan terbiasa membaca, menulis dari yang dilihat, didengar dan dirasakan.Â
Oh iya. Untuk melatih anak dalam menulis, usahakan anak menulis dengan huruf kecil terlebih dahulu. Kenapa? Dengan mengenalkan dan melatih tulisan berhuruf kecil, nanti akan mempermudah dalam membenahi penggunaan huruf kapital.
Jangan sampai anak mencampur adukkan huruf kecil dan huruf kapital dalam menulis karena sudah pasti akan sulit dibenahi. Jadi pada tahap awal, huruf kecil itulah yang harus dihafalkan anak.
Semoga bermanfaat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI