Dua hari yang lalu, ketika berada di rumah bapak dan mencari ganti baju untuk si bungsu, tanpa sengaja saya menemukan harta karun. Bukan harta karun berupa perhiasan seperti dalam cerita dongeng untuk anak.
Harta karun itu merupakan sebuah benda yang dibuat oleh tangan almarhumah ibu. Dompet warna merah hati. Dibuat dengan bahan plastik strimin dan benang khusus untuk membuat tas atau dompet. Alat yang dipergunakan adalah hakpen.
Menurut saya, membuat tas atau dompet seperti itu lebih mudah daripada tas atau dompet rajutan. Khusus rajutan, tanpa plastik strimin, saya angkat tangan.Â
Dulu, saking senangnya bisa belajar membuat tas atau dompet, untuk tas sekolah saja saya dan saudara saya membuat sendiri. Tak peduli lelah, yang penting senang. Meski hasilnya tak serapi buatan ibu, saya sudah senang.
Oh iya. Ibu mendapatkan keterampilan membuat karya yang bermacam. Mulai dari membuat bunga dari sedotan, pita, membuat dompet, merajut jaket untuk bayi, sampai mengukir.Â
Semua dipelajari ibu karena ibu ---yang guru agama--- ditugaskan di sebuah SLB swasta di desa saya. Guru seperti siswa, berlatih keterampilan ketika berada di sekolah. Biasanya hasil keterampilan dijual di berbagai pameran.
Ya...ibu semula mengajar di sekolah tempat saya belajar. Namun tak lama setelah saya masuk SD, ibu ditugaskan di SLB. Jelas ibu sempat stres juga karena merasa tak memiliki ilmu untuk mengajar anak-anak yang dikaruniai kekurangan. Belum pernah mengajar di SLB, tetapi tiba-tiba harus mengajar di sana.
Namun tahun demi tahun dilalui. Ibu benar-benar fokus dan enjoy mengajar di sana. Belajar huruf braille, bahasa isyarat sampai keterampilan dilakoninya.Â
Pernah juga ibu mengenalkan semua yang dipelajarinya pada anak-anaknya. Namun saya nggak nyantel. Kamus bahasa isyarat dibawa pulang untuk memperlancar ibu dalam mengajar. Saya sekadar melihat-lihat saja.
Terkadang siswanya juga ke rumah untuk belajar membaca iqra. Saat itulah saya paham bahwa meski anak SLB terbatas, namun tetap dididik sebaik mungkin. Anak bisu tuli diajari melafalkan kata dan seterusnya.
Kembali ke keterampilan yang didapatkan ibu selama mengajar di SLB. Manfaatnya cukup banyak bagi saya dan saudara. Setidaknya saya belajar membuat tas. Namun entah tas itu ada di mana sekarang. Mungkin sudah diberikan pada orang lain.
Selain membuat tas atau dompet, ibu melatih anak-anak membuat ukiran sederhana. Bagaimana cara memegang tatah yang ukuran dan bentuknya bermacam-macam, cara menggunakan, mengamplas, sampai membuat pola dan barangnya.
Saya ingat betul. Hasil keterampilan yang dulu dimiliki keluarga ada asbak, hiasan dinding dan hiasan kepala dipan. Dari semua hasil itu, saya memiliki hiasan kepala dipan yang polanya didesain dan dibuat ibu dengan dibantu anak-anak.
Suami saya sendiri sempat tak percaya kalau saya bisa menatah ukiran. Dikira seorang ibu dan anak-anak perempuannya tidak bisa membuat pola dan menatah kayu. Ya meski ukirannya tak sebagus ukiran profesional. Hihiii...
Yang jelas ada banyak hal yang kami dapatkan dengan ibu ditugaskan di SLB. Di saat orang berpikir bahwa siswa SLB tidak normal, kami paham bahwa ketidaknormalan itu karena fisik dan kemampuan kognitifnya yang kurang sempurna. Selebihnya mereka sama saja.
Itulah keterampilan yang didapatkan ibu, seorang guru agama, saat mengabdikan diri di sekolah khusus untuk anak istimewa. Saya dan saudara sedikit menguasai juga keterampilan itu. Keterampilan yang saat ini perlu saya pelajari ulang. Siapa tahu bisa membuka usaha bisnis kecil-kecilan. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H