Hari ini seluruh SMP membuka pendaftaran peserta didik baru. Karena masa pandemi, maka pendaftaran dilakukan secara online.Â
Di daerah saya sendiri, proses PPDB online terhambat karena server sempat down. Akibatnya para operator sekolah yang membantu proses PPDB alumni sekolah dasar mengeluh.
Pendaftar hanya perlu mengunggah scan berkas persyaratan ke panitia pendaftaran. Tentu saja karena tingkat SD tidak ada penyelenggaraan USBD maka nilai rapor menjadi salah satu pertimbangan penerimaan peserta didik baru tadi.
Ya meski ada ketentuan khusus pada masing-masing jalur. Seperti tahun sebelumnya pendaftaran peserta didik baru meliputi jalur zonasi, prestasi, mutasi atau perpindahan tugas orang tua dan afirmasi. Hanya prosentasenya saja yang berbeda.
Prosentase ini sebagai reaksi dari pemangku kebijakan di mana pada tahun sebelumnya prosentase jalur zonasi terlalu tinggi. Hal ini mengakibatkan banyak siswa yang berpotensi tidak bisa diterima di sekolah negeri manapun. Penyebabnya rumah siswa tidak masuk zonasi yang ditentukan.
Setelah prosentase jalur zonasi dikurangi, ternyata PPDB masih menyisakan polemik. Di mana sekolah yang pendaftarnya membludak, maka seleksi diprioritaskan untuk siswa yang usianya sesuai juknis PPDB.
Polemik ini sebenarnya tidak merata di setiap daerah maupun tingkatan sekolah. PPDB di sekolah-sekolah perkotaan cenderung tinggi persaingannya. Sedangkan di desa atau pinggiran/pelosok, PPDB malah sepi. Akibatnya pada sekolah di desa/ kelurahan---terutama tingkat dasar--- harus di-regrouping.
Fakta unik memang. Jumlah penduduk Indonesia yang jumlahnya ratusan juta, tetapi urusan PPDB selalu "ribut". Ada yang berlebih pendaftarnya, ada yang berkebalikan.
Tentunya ini sangat wajar, mengingat persebaran penduduk yang tidak merata. Antara pulau Jawa dan luar pulau Jawa, lebih padat di pulau Jawa.
Itupun masih ada lagi fakta, di pulau Jawa sendiri juga persebaran penduduknya tidak merata. Penduduk desa merasa tidak nyaman untuk bekerja di kampung halaman. Hingga akhirnya mereka banyak yang bekerja di kota. Menjadi perantau. Dengan harapan bisa memperbaiki tingkat kesejahteraan.
Alhasil di kampung halaman sepi. Antara warga yang berusia produktif dan tidak produktif, lebih banyak penduduk usia tidak produktif. Jelas ini akan mempengaruhi jumlah warga di desa dan kota.