Lebaran menjadi sebuah kebahagiaan bagi seluruh umat Islam di dunia. Akupun merasakan hal yang sama. Berbahagia karena bertemu sanak famili yang merantau ke kota metropolitan. Ada kisah seru dari mereka dalam kesehariannya.
Namun kebahagiaanku menjadi berbalik seratus delapan puluh derajat saat mereka mengolok-olokku. Berawal dari keluhan ibu yang ingin aku segera menikah.
"Adhimu golekno calon kuwi, mas Cahyo..." ucap ibu kepada mas Cahyo. Mas Cahyo itu saudara sepupuku. Putra dari pakdhe Bejo.
Aku tersenyum kecut. Selepas ucapan ibu pastilah mas Cahyo membully habis-habisan.
"Kulihat kamu ganteng. Tapi ternyata masih kuper juga ya!"
Mendengar Bullyan itu, saudara lain dan keponakan ikut-ikutan ngerjain juga.
"Om ganteng, cepet nikah. Biar aku yang ngipasi nanti," celoteh Nur, ponakanku, yang kini duduk di SD kelas I.
Tapi dengan celotehan itu, aku bisa memutus rantai bully-an mereka. Tanganku turun tangan, mencubit keras lengan Nur. Menangislah keponakanku yang lucu dan menggemaskan itu.
**
Aku termasuk lelaki yang sulit mengenal perempuan. Sampai usia menginjak kepala tiga, aku masih santai sendirian. Aku akui itu.
Saat kuliah dulu, rasanya muak ketika melihat teman perempuan di kampusku sering kongkow-kongkow, dandan, memikirkan penampilan yang trendi dan kekinian, sibuk ke sana-kemari. Perkara kuliah mereka santai banget. Kupikir, kalau mereka santai kuliah, gimana nanti pas punya suami
Bagi teman-teman, aku memang aneh. Tak masalah. Toh aku lelaki normal. Pernah naksir dan pedekate juga dengan mahasiswi fakultas sebelah, tetapi malah ilfil sendiri. Perkara sepele, dia seneng laundry pakaian kotornya. Bagiku dia males. Lalu, aku mundur dari perjuangan mendapatkan hatinya.
Selepas itu aku malah mengagumi sosok perempuan yang pagi-pagi harus menembus keramaian jalan menuju Yogyakarta. Aku sering melihatnya berada di antara iringan motor, truk, bus yang menuju Yogyakarta. Biasanya aku menjumpainya di sekitar Bukit Bintang.
Tak tega rasanya kalau melihatnya berada di dalam iringan kendaraan yang sangat ramai. Aku rela tidak menyalip atau mendahului kendaraan berbadan besar seperti pengendara motor lainnya. Jadi dengan senang hati aku mengawal setiap Senin pagi. Hari lainnya aku tak pernah melihat dia dengan motornya.
Perempuan itu pasti orang kuliahan juga. Tapi aku tak tau, di mana kampusnya. Yang jelas setiap Senin tiba, aku selalu membuntuti dan mengawalnya sampai di Jalan Wonosari. Aku berbelok ke arah rumah budhe sebelum ke kampus.
Perempuan itu pasti penasaran denganku. Seperti aku merasa penasaran padanya. Saat aku akan berbelok ke rumah budhe, aku yang tadinya basa-basi bertanya pada perempuan itu, hanya kuberi rambu-rambu rumah budhe.
Aku memang bodoh. Mana mungkin perempuan baik mau dolan ke rumah lelaki, belum dikenalnya lagi.Â
**
"Kasihan, Bulik. Bulik pingin kamu cepet nikah, Zain."Â
Aku ngobrol dengan mas Cahyo. Dia masih senang membahas keinginan ibuku.
"Aku tahu, mas. Aku sudah berumur. Teman-teman di kampung ini sudah menikah semua dan punya anak."
"Lalu?"
Aku mengedikkan bahu.
"Dulu aku mengenal perempuan yang kulihat baik..."
"Nah... kalau begitu ajak dia..."
"Aku tidak tahu siapa namanya. Alamatnya apalagi..."
Mas Cahyo heran. Dari matanya menyelidik. Lalu kuceritakan perihal perempuan yang selalu kukawal sekitar tujuh tahun lalu. Mas Cahyo tertawa lebar. Aku jengkel karenanya.
"Yaaa... tujuh tahun?? Kalau begitu sulit, Zain. Mana mungkin bisa mencari dia..." kata mas Cahyo masih dengan suara agak tertawa.
Aku mengiyakan kata-kata sepupuku itu. Jelas sulit mencari perempuan yang dulu bermotor warna merah. Pasti saat ini meski sering bertemu di jalan pun, aku tak mengenalinya. Aku hanya mengenal wajahnya tetapi namanya pun tak tahu.Â
Dan selama beberapa tahun ini, setiap Senin pagi, tak pernah kulihat perempuan bermotor warna merah itu. Hanya penyesalan, mengapa aku tak memperkenalkan diri padanya saat aku pernah berjumpa dengannya?Â
Saat itu tanpa sengaja aku bersama sepupu perempuanku mampir di rumah makan Padang. Di sana kulihat motor merah terparkir di area parkir. Ternyata perempuan itu keluar dari rumah makan.
Saat itu kusapa perempuan yang saat itu mengenakan jilbab biru. Dia agak bingung. Maklum, ketika bertemu di jalan, masker tak pernah lepas dari wajahku. Tapi begitu melihat motor terparkir, dia baru sadar.
"Ini pacarnya ya, mas?"
"Bukan. Ini mbakku..." jawabku singkat.
Perempuan itu tersenyum padaku dan mbakyuku, terus berlalu.Â
**
"Aku bikin status saja ya. Mungkin viral dan perempuan itu membacanya. Kalau jodoh tak kemana," aku menceritakan ide gilaku pada mas Cahyo.
Ya...aku akan nekat melakukannya. Perkara hasilnya bagaimana, aku tak peduli.Â
Aku akan memperjuangkan perempuan itu. Apapun yang terjadi. Mas Cahyo terpingkal-pingkal karenanya.
"Oalah, Zain... Zain. Ada-ada saja kamu. Kalau dia sudah punya lelaki lain, gimana?"
"Baru kupikirkan mencari perempuan lain."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H