Bagi teman-teman, aku memang aneh. Tak masalah. Toh aku lelaki normal. Pernah naksir dan pedekate juga dengan mahasiswi fakultas sebelah, tetapi malah ilfil sendiri. Perkara sepele, dia seneng laundry pakaian kotornya. Bagiku dia males. Lalu, aku mundur dari perjuangan mendapatkan hatinya.
Selepas itu aku malah mengagumi sosok perempuan yang pagi-pagi harus menembus keramaian jalan menuju Yogyakarta. Aku sering melihatnya berada di antara iringan motor, truk, bus yang menuju Yogyakarta. Biasanya aku menjumpainya di sekitar Bukit Bintang.
Tak tega rasanya kalau melihatnya berada di dalam iringan kendaraan yang sangat ramai. Aku rela tidak menyalip atau mendahului kendaraan berbadan besar seperti pengendara motor lainnya. Jadi dengan senang hati aku mengawal setiap Senin pagi. Hari lainnya aku tak pernah melihat dia dengan motornya.
Perempuan itu pasti orang kuliahan juga. Tapi aku tak tau, di mana kampusnya. Yang jelas setiap Senin tiba, aku selalu membuntuti dan mengawalnya sampai di Jalan Wonosari. Aku berbelok ke arah rumah budhe sebelum ke kampus.
Perempuan itu pasti penasaran denganku. Seperti aku merasa penasaran padanya. Saat aku akan berbelok ke rumah budhe, aku yang tadinya basa-basi bertanya pada perempuan itu, hanya kuberi rambu-rambu rumah budhe.
Aku memang bodoh. Mana mungkin perempuan baik mau dolan ke rumah lelaki, belum dikenalnya lagi.Â
**
"Kasihan, Bulik. Bulik pingin kamu cepet nikah, Zain."Â
Aku ngobrol dengan mas Cahyo. Dia masih senang membahas keinginan ibuku.
"Aku tahu, mas. Aku sudah berumur. Teman-teman di kampung ini sudah menikah semua dan punya anak."
"Lalu?"