"Ibuuu... aku lapaaarr!" Teriak Alya siang itu.
Ibu yang sedang membereskan gelas dan piring di dapur merasa kaget karenanya.
"Astaghfirullah. Alya, pelankan suaranya, nak."
Ibu menghampiri Alya yang duduk di kursi ruang makan. Alya tampak cemberut.
"Ada apa, nak? Pulang-pulang kok cemberut dan berteriak begitu?"
"Aku lapar, Bu..."
Ibu mmperhatikan Alya dengan seksama.Â
"Kamu yakin, nggak ada yang membuatmu marah?"
Alya masih cemberut. Ibu bisa menebak, pasti Alya bertengkar dengan Lilis, temannya yang rumahnya berada di sebelah Utara masjid.
"Ya sudah. Lain kali kalau bermain bersama, kamu nggak boleh marah-marah ya, nak. Nanti Lilis nggak mau berteman denganmu lagi loh..."
"Lah...Lilis yang curang main congklaknya, Bu. Dia habis biji congklaknya tapi terus main. Kan nyebeli!"
"Sssttt. Iya. Tapi jangan keras-keras bicaranya. Nanti tenggorokannya sakit lho.."
Alya masih menggerutu. Dia terlihat sangat kesal.
"Kalau dicurangi pas bermain itu nggak enak kan, nak?"
Alya mengangguk.
"Nah... kalau begitu, kamu nggak boleh meniru perbuatan itu ya, nak. Soalnya temenmu bisa sebel juga..."
Alya kembali mengangguk. Anak SD kelas dua itu beringsut dari kursi. Diraihnya gelas di rak dan diisi air putih. Segera diteguknya air putih itu.
"Kamu makan sekalian, nak. Biar nggak laper."
"Ibu masak apa?"
"Masak Thiwul sama ikan asin. Terus ada rebusan bayam dan sambal..."
Alya mengernyitkan dahinya. Dari wajahnya terlihat kalau dia tidak suka.
"Malas makan, Bu. Nggak enak makanannya!"
"Eh...siapa bilang? Kamu belum coba kok sudah bilang nggak enak..."
"Tapi..."
Ibu segera mengambilkan Thiwul, nasi putih dan ikan asin untuk Alya.
"Coba ini," ibu meletakkan piring berisi Thiwul, nasi putih dan ikan asin di atas meja.
Dengan malas Alya kembali ke meja makan dan meraih piring itu. Pelan-pelan dia makan makanan tradisional itu.
"Pelan-pelan makannya, nak. Nanti bisa tersedak. Air putihnya ditambah lagi ya," ibu menuangkan air putih ke gelas Alya.
Sedikit demi sedikit Alya menyendok nasi beserta Thiwul. Rasanya agak manis dan enak tapi membuatnya agak tersedak.Â
"Enak, Bu."
Ibu yang berada di samping Alya tersenyum.
"Tentu, nak. Pas ibu masih kecil, hampir setiap hari makan nasi Thiwul lho..."
"Oh ya?"
Ibu mengangguk.
"Apa nggak bosen?"
"Ya nggak. Waktu itu ibu harus prihatin. Kalau nggak, kasihan nenek. Nenek bukan orang kaya. Jadi makan Thiwul. Kadang cuma pakai sambel..."
"Terus, ibu tetap makan juga?"
Ibu mengangguk.
"Dulu ibu juga bilang nggak enak, tapi ternyata rasanya enak setelah ibu cicipi. Seperti yang kamu katakan tadi..."
Alya segera menghabiskan nasi Thiwul di piringnya.
**
Pukul 15.13 Alya bangun tidur. Dia segera mandi, wudhu dan shalat. Setelah itu Alya nonton televisi.
"Lho, kamu kok nggak ke lapangan masjid?"
"Nggak ah, Bu. Malas!"
Ibu tersenyum.Â
Tak berapa lama, dari luar terdengar suara memanggil nama Alya.
"Tuh, ada yang nyari kamu, nak..."
"Aku nggak mau ketemu Lilis, bu. Ibu bilang saja kalau aku tidur..."
Alya tidak mau menemui temannya. Tetapi ibu menasehati Alya agar menemuinya.
"Nggak boleh terlalu lama marah, nak. Kamu kan pernah cerita kalau pak Ustadz mengajar hadis Laa taghdhab walakal Jannah. Janganlah kamu suka marah, maka bagimu surga. Iya kan?"
"Iya... iya, Bu..."
Terpaksa Alya keluar rumah. Alya melangkah dengan kaki sedikit dihentakkan ke lantai. Sesampai di teras sudah ada Lilis menunggunya.
"Alya, aku minta maaf ya. Tadi curang sama kamu..." Lilis mengulurkan tangannya untuk minta maaf.
"Iya..." Alya membalas uluran tangan Lilis.
Lilis tersenyum. Ya mereka kembali rukun setelah bertengkar tadi.
"Yuk main congklak lagi..." ajak Lilis.
"Tapi kamu nggak curang lagi ya!"
"Oke!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H