Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Risaunya Jadi Keluarga PDP dan Menjalani Rapid Test

18 Juni 2020   13:46 Diperbarui: 18 Juni 2020   17:35 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hampir selama dua minggu ini saya merasa tidak tenang. Melakukan segala aktivitas selalu dihantui rasa khawatir. Namun saya berusaha untuk positive thinking.

Ya. Ada beberapa hal yang membuat hati benar-benar tidak tenang. Meski tertawa, namun hati dan pikiran tetap tidak bisa berbohong bahwa saya dalam kondisi yang tidak nyaman.

Berawal dari kepulangan suami yang baru saja piket malam. Waktu itu hari Sabtu pagi. Dia menyapa saya dari luar rumah. Saat itu saya masih menyiapkan susu untuk si bungsu. 

Begitu selesai membuat susu, saya menghampiri suami yang masih berada di luar rumah. Ketika saya berada di dekat pintu, suami baru cuci tangan di keran dekat kolam di sisi kiri rumah.

Tak lama suami menyusul saya yang sudah duduk di kursi teras rumah. Dengan tiba-tiba dia mengatakan kepada saya untuk memilih tetap bersamanya atau pulang ke rumah bapak.

Tentu saya sangat kaget mendengarnya. Ya karena saya merasa baik-baik saja selama ini. Saya menyelidik kenapa suami mengucapkan hal yang membuat saya terkaget-kaget.

Lalu dia bercerita bahwa hari Selasa harus Rapid Test. Ada beberapa pegawai di instansinya yang harus dites di hari yang sama. Asal muasalnya, salah satu pegawai juga menjalani Rapid Test karena kontak dengan orang reaktif dalam hasil Rapid Test-nya.

Saya beristighfar. Merasa bahwa musibah begitu dekat dengan saya, keluarga dan tetangga. Saya shock sekali pagi itu. Dan itu berlanjut hingga dua tiga hari. Namun saya tetap bertahan di rumah. Bagaimanapun suami harus terus saya dampingi. Suka duka harus dijalani bersama.

Saat mendengar bahwa suami akan Rapid Test, terus terang saya bingung juga. Mau karantina mandiri ataukah tidak. Hati kecil saya merasa risau jika keluarga kami akan menjadikan dusun menjadi tidak nyaman.

Setiap bertemu atau berpapasan dengan tetangga, saya sudah berpikir macam-macam. Jangan-jangan saya akan membuat mereka sakit dan sebagainya.

Rasanya tak tenang sekali. Apalagi ketika saya harus melakukan pemberkasan online bersama teman sekantor untuk pencairan TPG TW 2. Kekhawatiran menghinggapi hati. Khawatir jika teman akan mendapat musibah karena saya.

Pikiran itu sangat menekan hati saya. Namun suami dan saudara kembar saya membesarkan hati saya.

"Aku baik-baik saja, Bu. Kalau mau karantina, besok kalau sudah ada hasil Rapid-nya saja." Begitu suami saya memberi masukan.

Oke. Saya harus mulai berpikir rasional. Beberapa hari setelah suami Rapid pertama, tak ada pegawai Puskesmas atau Rumah Sakit yang mendatangi rumah kami.

Namun, selama hasil Rapid Test-nya belum saya ketahui secara pasti, saya selalu menjaga agar tidak sering kontak dengan tetangga atau saudara.

Saya tahu itu ujian untuk saya. Dan itupun masih ditambah dengan sakitnya paklik saya. Paklik batuk berhari-hari. Paklik tidak mau diperiksakan ke rumah sakit karena takut dan khawatir kalau akan dikarantina. Takut dirapid Test dan Swab.

Setelah merasa beberapa hari tidak kunjung membaik, akhirnya paklik diperiksakan ke rumah sakit. Tujuannya untuk Rontgen paru-paru saja. Namun di sana paklik menjalani Rapid Test juga.

Hasil Rapid Test non reaktif. Akan tetapi dari hasil Rontgen, paklik mengalami radang paru-paru dan pembengkakan jantung. Namun karena sakit paklik berhubungan dengan paru-paru, mau tak mau harus diisolasi dan diswab juga.

Semakin galaulah saya. Di satu sisi Bulik dan sepupu membutuhkan dukungan moril namun di sisi lain, saya was-was untuk sekadar mertakke bagaimana kondisi paklik. Saya khawatir menjadi OTG dan membahayakan mereka.

Namun dengan niat memberi dukungan moril dan bismillah saya mertakke juga. Saya ingin membesarkan hati saudara dekat saya yang saat itu sangat down. Apalagi beredar berita bahwa di dusun kami ada pasien positif Corona.

Sepupu saya sangat kacau karenanya. Terlebih bulik saya. Di saat suaminya sakit, tetapi Bulik tidak bisa menunggui di rumah sakit. Ya karena paklik dikarantina atau diisolasi di rumah sakit.

Baru pada hari kelima paklik bisa pindah ke bangsal biasa. Artinya hasil Swab menunjukkan bahwa paklik negatif Corona. Saya sangat bahagia mendengarnya. Ya meski paklik masih harus dirawat beberapa hari di rumah sakit. Setidaknya keluarga Bulik bisa tenang karena mereka bukan aib bagi lingkungan.

Setelah kabar paklik negatif Corona itu, perasaan saya campur aduj. Antara bahagia dan masih galau dengan kondisi suami. Meski saya berdoa dan memasrahkan semua kepada Allah, masih saja khawatir dengan hasil Rapid Test suami.

Tak henti-hentinya saya beristighfar dan berkomunikasi dengan teman-teman. Ya meski mereka tak mengetahui bahwa saya galau berat. Menulis tetap saya lakukan sebisanya agar bisa melupakan pikiran negatif saya.

"Positive thinking saja, Bu. Biar imunnya kuat. Katanya begitu kan?" Suami mengingatkan saya yang masih risau juga.

Saya memperhatikan suami dan anak-anak. Mereka tampak baik-baik saja. Meski suami sempat jatuh saat perjalanan dan merapikan pohon dekat rumah.

Tiba hari di mana dia Rapid Test yang kedua. Saya tak mengucapkan apapun ketika suami berangkat kerja sekalian Rapid Test di puskesmas dekat kantornya. 

Saya pun tak berani bertanya. Saya hanya membesarkan hati dan membunuh waktu dengan mengolah nilai rapor para siswa. Saya harus siap dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Baru menjelang Dhuhur suami mengirimkan gambar melalui WhatsApp. Saya merasa bahwa itu adalah hasil periksa hari ini. Dan benar. 

Suami mengirimkan screenshot yang menyatakan bahwa dia dan semua teman kerjanya negatif Corona. Alhamdulillah. Saya meneteskan air mata bahagia karena nikmat kesehatan untuk suami dan semua keluarga.

Semoga apa yang saya alami ---saudara diisolasi di rumah sakit dan suami Rapid Test--- tidak dialami seluruh keluarga, saudara, sahabat semua. Ya karena rasanya benar nano-nano. 

Namun jika di sekitar kita ada yang PDP atau Rapid Test, jangan lantas menghakimi dan menjauhi mereka. Keluarga PDP dan Rapid Test sangat membutuhkan dukungan moril. Mereka sudah sangat terpukul dengan keadaan keluarga yang sakit atau tes, tak perlu sampai mengacuhkan. Menyapa pun tidak. Itu sungguh menyakitkan. 

Semoga menjadi pembelajaran untuk saya dan semua. Salam hangat dan sehat selalu untuk semua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun