Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Harmonis Tak Harus Romantis

16 Juni 2020   13:01 Diperbarui: 16 Juni 2020   13:11 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pacitanku.com

"Ibu cantik ya, dik? Kok ndempel terus sama ibu," tanya saya ke bungsu saya. Ya si bungsu sering nempel sama ibunya. Padahal ibunya termasuk ibu yang nggak bisa dandan dan agak galak. Hihiii.

Si bungsu tak menggubris pertanyaan saya. Dia asyik berdiri di atas punggung ketika saya tengkurap. Dalam kondisi lelah, saya memang biasanya tengkurap. Lalu si bungsu turun dan naik punggung lagi. 

Dalam posisi saya dudukpun jadi sasaran salto si bungsu. Saya merasakan bahwa memiliki jagoan sangat berbeda. Tak seperti saat kedua kakaknya masih balita.

Kembali ke pertanyaan saya kepada si bungsu, bapaknya yang kebetulan baru menonton televisi dan memang tak selalu membicarakan bagaimana fisik saya ---wajah--- menengok ke arah kami. Lalu dengan santainya bilang, "ora, ngunu dik..."

Ehmmm. Okelah. Memang suami bukan lelaki yang jago bicara romantis. Bahkan memuji pun jarang saya dengar. Ya sudahlah. Nah kalau dia bicara seperti itu dengan cueknya, saya pun bisa balas bicara asal. 

"He em. Nggak cantik. Yang penting punya anak tiga...". Suami langsung mesem mendengar ucapan saya.

**

Tolok ukur Harmonis

Untuk mengatakan bahwa rumah tangga  harmonis, saya tidak bisa memastikan tolok ukurnya secara pas. Karena harmonis itu selalu ada kesamaan atau seia sekata dalam berumah tangga sehingga rumah tangga terasa nyaman dan tenteram.

Tolok ukur keharmonisan tidak bisa diukur dengan pasti. Ada yang mengaitkan dengan pemenuhan kebutuhan biologis sebagai tolok ukurnya. Namun bagi saya, selama ada sikap terbuka, saling menghargai dan memegang komitmen, itu sudah melebihi dari kata harmonis.

Harmonis. Yang bisa merasakan ya pasangan suami-isteri sendiri dan pastinya berdampak pada anak-anak. Orangtua yang harmonis akan membuat hati anak lebih nyaman dan bahagia. 

Terkadang orang lain hanya bisa menebak keharmonisan dari sikap atau perlakuan seseorang kepada pasangannya. 

Bisa saja orang menilai pasangan harmonis itu ketika melihat pasangan yang selalu ke mana saja berdua, melontarkan pujian dan kata romantis melalui sosmed, memberi bunga, mobil dan sebagainya. 

Di sisi lain, ada juga yang tidak melihat dari sisi itu. Pasangan yang jarang ribut bisa saja dinilai harmonis. Meski mereka jarang bertemu karena harus menjalani hidup berjauhan ---LDR---, jarang jalan bareng meski serumah dan sebagainya. 

Mereka adalah contoh dari keluarga harmonis tanpa harus selalu bersama. Itu penilaian orang. Mereka dianggap hebat, bisa saling menjaga hati meski berjauhan. Harmonis yang pasti sangat berat.

Yang perlu diingat bahwa kita tak perlu memikirkan terlalu dalam anggapan orang. Hal terpenting, kita fokus pada keluarga dan pahami saja pasangan. Toh yang tahu tentang rumah tangga adalah pasangan yang bersangkutan. Bukan orang lain.

Kalau misalnya kebetulan punya suami atau isteri yang tak pernah memuji ya mungkin karena itu caranya mencintai kita. Cara mencintai yang unik dan menjadi kekhasan sekaligus kekuatan si pasangan untuk selalu memegang komitmen.

Cintanya tak dibuktikan dengan kata-kata. Hanya tindakan yang menjadi saksi kecintaan kepada pasangan. Misalnya saja ketika ada orang yang menilai negatif isteri maka suami yang memang hafal dengan aktivitas isteri malah membesarkan hati isteri.

Namun jika memang salah satu pasangan melakukan kesalahan, maka pasangan yang baik tak segan untuk mengarahkan agar bisa memperbaiki diri. Jika tidak, maka akan menjadi bom waktu yang siap menghancurkan rumah tangga.

Atau dengan contoh lain, suami memberi kepercayaan kepada isteri untuk berkarir atau menyalurkan dan mengembangkan hobi, itu sudah termasuk ke arah restu atau bukti seia sekata dari suami. Tentu si isteri tahu rambu-rambu tanpa harus digurui sang suami.

Ketika suami dan isteri saling mendukung, meski tak selalu terlihat mesra di depan khalayak umum, bisa dikatakan harmonis. Tak perlu menuntut ingin diperlakukan mesra. Malah akan jadi wagu atau aneh kalau pura-pura mesra seperti dalam film-film roman. 

Saling menerima kelebihan dan kekurangan, itu akan memperkokoh keharmonisan rumah tangga. Saya yakin itu. Apalagi disertai kejutan kecil ketika pulang kerja, entah dibelikan jilbab baru atau lainnya, mungkin itu adalah sisi romantis yang akan ditunjukkan kepada pasangan.

Tak usah memprotes pemberian suami. Belajar membahagiakan suami meski tak begitu suka dengan kado kecil itu. Sesekali kenakan juga biar suami merasa lebih dihargai. 

Tak perlu berpura-pura memuji agar terlihat harmonis. Cukup lakukan hal sederhana, meski tanpa pujian. Sesekali mungkin perlu ujaran yang berkebalikan dari pasangan. Anggap ujaran yang berkebalikan itu saking tak bisa mengungkapkan perasaan. Berharap saja pasangan yang tak memuji malah rasa sayangnya melebihi pasangan lainnya yang sering mengobral pujian. Semoga. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun