Pagi yang cerah. Suamiku yang baru saja pulang dari shift malam, memberi kode agar aku mendekatinya di teras rumah.
Sementara anakku sedang menonton televisi dan si kecil yang baru saja bangun tidur sedang minum susu dari botol susunya. Kutinggalkan si kecil dan menghampiri suamiku.
"Ada apa, mas?"
"Sebentar, aku cuci tangan dulu," ucapnya sambil menuju keran air di samping kiri rumah kami.
Aku menunggu suami sampai selesai cuci tangan.
"Ada apa, mas?" Tanyaku sekali lagi.
Aku merasa ada sesuatu yang sangat serius yang akan dia sampaikan kepadaku.
"Kamu kuberi dua pilihan. Tetap bersamaku atau pulang ke rumah bapak," ucap suamiku.
Aku merasa kaget mendengarnya karena aku merasa tak berbuat kesalahan, kenapa harus ada dua opsi itu?
"Maksudmu apa sih, mas? Aneh-aneh saja."
"Ini serius, dik..."
Lalu suamiku bercerita bahwa dia akan menjalani Rapid Test beberapa hari ke depan. Aku sangat shock mendengar kabar itu.
Aku hanya beristighfar sambil menggelengkan kepala. Seakan tak percaya bahwa suamiku akan menjalani Rapid Test. Artinya dia kontak dengan orang yang positif Corona.
"Lha kok bisa, mas? Berarti pak Din positif Corona?" Tanyaku untuk meyakinkan diri bahwa memang pak Din Rapid Test lagi dan hasilnya positif Corona.
Pak Din adalah rekan kerja suamiku. Aku pernah mendengar dari suamiku kalau pak Din menjalani Rapid Test. Hasilnya negatif. Saat itu aku sudah lega.Â
Namun betapa kagetnya tadi ketika mendengar bahwa pak Din sekarang baru menunggu hasil tes swabnya. Pak Din sendiri terpapar virus dari tetangganya.
Ya Allah. Rasanya seperti mimpi. Aku hanya berharap suamiku baik-baik saja. Begitupun denganku, anak-anak, saudara dan tetanggaku.
Rasanya aku juga tak mungkin pulang ke rumah bapak. Aku khawatir jika akan mengancam kesehatan bapak dan adikku.
Suamiku sendiri dalam keadaan baik dan merasa baik. Namun aku tetap saja merasa khawatir.
Ah... Covid 19 benar-benar menjadi hantu bagi semua orang. Aku tetap shock sampai saat ini. Meski sebenarnya belum tentu suamiku positif Corona.Â
"Sudahlah. Anggap tak terjadi apa-apa," hibur suamiku.
Kuhela nafas panjang. Aku harus positive thinking, dan lebih menjaga kesehatan keluarga. Ternyata, seberapapun dan bagaimanapun hati-hatinya menghadapi Covid 19, tetap saja ada teman suami yang positif.
"Seperti yang kubilang tadi, kamu boleh tetap di rumah atau pulang ke rumah bapak," ujar suamiku.
Aku tak boleh egois pada bapak dan adik yang tinggal di rumah bapak. Biarlah suamiku bersama beberapa temannya menjalani tes. Aku berdoa dan positive thinking saja. Kami semua sehat dan selalu dalam lindungan Allah.
Aku ingat sebuah hadits Nabi yang mengatakan bahwa jika ada wabah di suatu wilayah maka kita tidak boleh meninggalkan tempat itu. Umat Nabi harus sabar dan akan mendapatkan pahala dengan kesabarannya.
Aku yakin ucapan Nabi adalah tuntunan yang baik dan positif. Jadi lebih baik aku tetap berada di rumah bersama suami dan anak-anak. InsyaAllah semua akan baik-baik saja. Kuyakin prasangka Allah sama dengan prasangka hambaNya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H