Hidup berumah tangga sudah pasti mengalami pasang surut permasalahan. Perselisihan, salah paham, pertengkaran, rukun kembali selalu jadi bumbu yang akan membuat "hidangan rumah tangga" semakin sedap.
Seringkali kita lihat di sekitar kita hingga kasus publik figur yang rumah tangganya bermasalah dan berujung pada perpisahan atau perceraian.
Perceraian adalah sebuah langkah terakhir dari perselisihan yang tak bisa diselesaikan. Dalam ajaran agama sendiri mengatakan bahwa perceraian itu diperbolehkan tetapi tidak disukai oleh Allah.
Untuk mencegah perceraian, sudah tentu berangkat dari komitmen awal ketika mau menikah. Menikah bukanlah karena cinta semata. Di sana ada perjuangan dan ujian yang membuktikan apakah cinta itu bisa membuat rumah tangga menjadi langgeng ataukah tidak.
Langgeng tidaknya rumah tangga jelas harus ada komitmen. Diawali dengan komunikasi yang baik antara suami dan isteri. Komunikasi yang buruk akan membawa rumah tangga bagaikan neraka.
Selain itu perlu juga memikirkan sosok tak berdosa yang akan merasakan pahitnya perceraian. Dia adalah anak.
Anak tidak tahu menahu persoalan orangtuanya namun merasakan sedihnya jika hidup hanya bersama bapak saja atau ibu saja. Atau bahkan ketika masing-masing menikah lagi. Anak akan merasa tersingkir dari kehidupan bapak ibunya.
Anak akan dipaksa oleh keadaan. Ya dipaksa untuk menerima ibu baru atau bapak baru. Belum lagi jika nantinya mereka memiliki anak lagi.
Ini tidak bermaksud menilai negatif sosok bapak tiri ataukah ibu tiri. Tidak semua bapak tiri atau ibu tiri itu buruk. Masih ada sosok ibu tiri atau bapak tiri yang sangat menyayangi anak tirinya.
Namun ketika hati merasa kesal, jengkel atau marah dengan pasangan, maka lihatlah mata tak berdosa dari buah hati. Buah hati yang dulu sangat dinantikan kehadirannya sebagai pelengkap kebahagiaan keluarga kecilnya.
Bukankah semua sayang harus dicurahkan untuk buah hati? Itu adalah hak mereka. Hak akan kasih sayang akan berdampak positif bagi tumbuh kembang anak.