Pasangan suami isteri yang telah diresmikan dalam ikatan suci pernikahan. Mereka pasti menantikan kehadiran buah hati untuk menambah kebahagiaan dan ketenangan rumah tangga.
Sebagaimana kita tahu dan amati bahwa ada pasangan suami isteri yang bertahun-tahun belum juga diamanahi kehadiran buah hati. Mereka akan mendapat tekanan batin, dengan munculnya pertanyaan yang menyakiti hati seperti "Eh...si A sudah punya anak yang lucu. Kamu kapan?"
Banyak ucapan lain yang membuat hati pasangan suami isteri semakin kalut. Ya memang kita tak bisa mengendalikan pertanyaan yang muncul. Padahal bisa saja mereka sangat tersiksa.
Jadi ketika pasangan suami isteri diamanahi buah hati, pastilah akan disambut dengam bahagia. Tak hanya pasutri tadi, tetapi juga keluarga besar dan masyarakat sekitar.
Dirawat dan dididiklah anak dengan harapan sang buah hati bisa menjadi anak yang berbakti dan berpegang pada norma yang ada.Â
Kenyataannya tak semua anak sesuai dengan harapan. Di masa remaja atau dewasa malah jauh dari harapan. Karakter sungguh memprihatinkan.
Lihat saja, beberapa waktu terakhir muncul anak-anak muda yang kreatif. Karena kreatifnya akhirnya mereka terkenal. Sayangnya mereka terkenal bukan dengan hal yang positif melainkan karena sisi negatifnya.
Ya mereka kreatif membuat konten video, entah prank atau video lucu-lucuan lainnya. Tetapi jika yang viral adalah prank yang merugikan di saat kondisi tanah air sedang prihatin karena pandemi, rasanya tak elok juga.
Prank dengan memberi bantuan dan bantuan itu ternyata berisikan sampah dan batu. Belum sampai prank itu selesai kasusnya, ada lagi video lucu-lucuan. Shalat dengan menari, menyanyikan lagu Aisyah dengan plesetan dan menghina sang Nabi dan Aisyah.
Kenapa sih banyak orang ingin terkenal atau viral dengan cara yang buruk?
Zaman kecil dulu, saya selalu dinasehati guru dan orangtua, kalau sudah besar jangan cuma mengejar materi. Hati dan pikiran harus imbang. Kepandaian harus diimbangi dengan kecerdasan hati. IQ, EQ, SQ harus sejalan.
Menekan anak untuk pandai itu akan berakibat buruk bagi kejiwaan anak. Mereka akan stress. Akhirnya mereka mencari pelampiasan yang nyleneh. Berbuat apa yang disukainya meski tak sesuai dengan norman.
Prestasi memang hal yang membanggakan bagi orang tua. Kebanyakan menganggap bahwa sikap, moral dan spiritual itu bukan sesuatu yang patut dibanggakan karena tidak ada angka pasti yang didapatkan anak. Tak ada ranking.Â
Namun jika sikap, moral, spiritual tidak dilatih sejak dini, akhirnya akan timpang. Di masa dewasa mereka akan kehilangan jati diri yang positif.Â
Jika sudah seperti itu, orangtua akan menangis dan sedih dengan kelakuan sang anak. Penyesalan dalam mengasuh anak tak bisa dihindarkan. Mendidik anak yang beranjak dewasa dan anak tentu beda hambatannya. Anak kecil lebih mudah diarahkan. Beda dengan orang dewasa.
Penyesalan yang dialami orangtua sangat wajar. Namun sebagai orangtua, bukan berarti melindungi anak. Tunjukkan bahwa anak memang salah dan perlu mengubah perilaku.
Jika memang sudah berhadapan dengan polisi, ya orangtua harus berbesar hati membantu polisi. Anak memang perlu dididik lagi dengan cara lain. Biarkan anak tumbuh menjadi sosok yang dewasa dan bertanggungjawab. Ajarkan kepada anak bahwa maaf tidak akan menyelesaikan permasalahan yang ada.
Anggaplah maaf sebagai salah satu terbebasnya anak dari hukum sosial. Namun secara pidana biar anak menjalaninya demi terarahnya hidup anak. Karena orangtua tak selamanya bisa hidup dan melindungi anak. Mari bekali anak dengan ilmu agama dan iptek secara baik dan seimbang.
Bagi masyarakat umum, segala hal yang beredar di dunia maya harus menjadi pembelajaran yang baik. Tenarlah, terkenallah dengan cara yang baik karena hal itu membuat capaian hidup menjadi lebih berkah.
Jadikan bulan Ramadan yang penuh keprihatinan kali ini sebagai sarana untuk memperbaiki sikap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H