Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Setelah Ijab Kabul, Salaman, dan Cium Tangan Suami, Bagaimana bagi Manten Lawas?

7 April 2020   06:17 Diperbarui: 7 April 2020   06:25 1860
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"E... kalau cucuku pulang bisa hilang capeknya kalau lihat lesung pipimu, nak," ujar seorang nenek kepada isteri cucunya, sesaat setelah cucunya menikah.

Ungkapan itu mungkin sering juga didengar dari orangtua, mertua, tetangga, sahabat atau siapapun. Sebuah ungkapan yang menunjukkan kekuatan senyuman isteri bagi suami yang telah lelah bekerja demi menafkahi keluarga. Senyuman isteri merupakan kebahagiaan suami.

Tak ada salahnya memang. Bahkan dalam hadis yang mengatakan bahwa senyum itu sedekah yang paling mudah. Sedekah bagi siapapun, terutama bagi suami.

Sangat luar biasa keutamaan senyuman. Hingga dalam ceramah-ceramah agama mengungkapkan, "sambutlah kedatangan atau kepulangan suami dengan senyummu, jangan dengan muka masammu."

Di sisi lain, ketika seorang suami mau pergi bekerja maka harus menyalami sang isteri. Ciuman pada tangan suami akan meringankan seorang suami untuk bekerja. Jadi di situ ada keseimbangan antara hak dan kewajiban suami maupun isteri. Saling menghormati satu sama lain ketika seseorang berkomitmen untuk menikah. 

Seiring berjalannya waktu, muncullah permasalahan demi permasalahan dalam rumah tangga. Ketika masih menjadi pengantin baru, semua terasa indah, keberangkatan dan kedatangan suami dari kerja selalu disambut hangat oleh sang isteri. Tentu dengan senyum dan uluran tangan serta ciuman pada punggung tangan suami.

Lalu apakah saat pasangan menjadi pengantin lawas harus melakukan hal yang sama?

Ketika saya masih sendiri, sekitar 12-13 tahun yang lalu, saya sering memperhatikan teman kerja yang selalu diantar jemput oleh suaminya. Ketika sampai di depan sekolah dan turun dari motor, dia selalu salaman dan mencium tangan suaminya. Begitu juga saat dijemput, sebelum dia naik motor dan motor dilajukan sang suami, salaman dan mencium punggung tangan suami dilakukan.

Di situ memang terlihat agak norak bagi orang yang tak terbiasa melakukannya. Namun bagi saya pribadi, meski ilmu agama saya tidaklah baik, saya hanya melihat sebuah kepatuhan isteri pada suami dan keridhoan atau keikhlasan sang suami untuk merelakan sang isteri berkarir sesuai keilmuannya.

Itulah yang saya lihat. Bagi orang lain itu mungkin aneh. Saya perhatikan beberapa teman, tak menyalami dan mencium tangan suami, meski usia pernikahan masih tergolong baru. Tentu ini ada alasan tertentu dan saya tak boleh menghakimi mereka sebagai isteri yang tidak menghormati suami. Saya tak berhak menghakimi mereka.

Namun bagi saya, urusan salaman dan mencium tangan suami ---syukur suami mencium kening isteri--- itu menginspirasi. Begitu saya bersuami, saya mencoba menerapkan hal yang sama, sampai saat ini. Hanya saja bedanya, saya jarang diantar jemput oleh suami meski dulu pernah satu instansi kerja juga. Saya selalu berangkat sendiri dan terbiasa mandiri.

Lalu kapankah saya melakukan hal yang dilakukan teman saya? Tentunya ketika saya dan suami sama-sama akan berangkat kerja. Membiasakan salaman dengan mencium punggung tangan suami entah di ruang tamu atau teras, sebagai bentuk kepatuhan saya dan saat kerja akan memberikan efek positif. Setidaknya saya menjaga pandangan saya. Jika dilakukan di ruang tamu, biasanya suami mencium kening, tetapi kalau di luar rumah ada rasa canggung jika dilihat tetangga. 

Kemudian saat suami pulang kerja, saat saya repot mengurus anak atau rumah, saya memang jarang menyambut di pintu rumah. Akan tetapi suami saya mendatangi saya dan barulah saya menyalami dan mencium punggung tangannya.

Senyumkah saya padanya? Di balik kerepotan saya, terkadang melupakan sejenak akan senyuman itu. Namun ketika menyadari itu, saya ungkapkan perasaan melalui pertanyaan bagaimana kerjanya, dari dinaskah, tumben pulang lebih awal dan sebagainya yang menunjukkan kehangatan untuk suami.

Senyum memang mudah dan murah dilakukan namun adakalanya di waktu-waktu tertentu menjadi sebuah hal yang berat. Namun semua pasangan harus menyadari kekuatan senyuman satu sama lain, agar tidak tergoda senyuman orang lain di luar rumah. 

Kita perlu ingat bahwa senyuman akan membawa kebahagiaan bagi yang melihatnya. Jadi, memang senyum, salaman dan ciuman di punggung tangan suami dan kening isteri akan membawa kebahagiaan. Bukankah itu yang diinginkah setiap pasangan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun