"E... kalau cucuku pulang bisa hilang capeknya kalau lihat lesung pipimu, nak,"Â ujar seorang nenek kepada isteri cucunya, sesaat setelah cucunya menikah.
Ungkapan itu mungkin sering juga didengar dari orangtua, mertua, tetangga, sahabat atau siapapun. Sebuah ungkapan yang menunjukkan kekuatan senyuman isteri bagi suami yang telah lelah bekerja demi menafkahi keluarga. Senyuman isteri merupakan kebahagiaan suami.
Tak ada salahnya memang. Bahkan dalam hadis yang mengatakan bahwa senyum itu sedekah yang paling mudah. Sedekah bagi siapapun, terutama bagi suami.
Sangat luar biasa keutamaan senyuman. Hingga dalam ceramah-ceramah agama mengungkapkan, "sambutlah kedatangan atau kepulangan suami dengan senyummu, jangan dengan muka masammu."
Di sisi lain, ketika seorang suami mau pergi bekerja maka harus menyalami sang isteri. Ciuman pada tangan suami akan meringankan seorang suami untuk bekerja. Jadi di situ ada keseimbangan antara hak dan kewajiban suami maupun isteri. Saling menghormati satu sama lain ketika seseorang berkomitmen untuk menikah.Â
Seiring berjalannya waktu, muncullah permasalahan demi permasalahan dalam rumah tangga. Ketika masih menjadi pengantin baru, semua terasa indah, keberangkatan dan kedatangan suami dari kerja selalu disambut hangat oleh sang isteri. Tentu dengan senyum dan uluran tangan serta ciuman pada punggung tangan suami.
Lalu apakah saat pasangan menjadi pengantin lawas harus melakukan hal yang sama?
Ketika saya masih sendiri, sekitar 12-13 tahun yang lalu, saya sering memperhatikan teman kerja yang selalu diantar jemput oleh suaminya. Ketika sampai di depan sekolah dan turun dari motor, dia selalu salaman dan mencium tangan suaminya. Begitu juga saat dijemput, sebelum dia naik motor dan motor dilajukan sang suami, salaman dan mencium punggung tangan suami dilakukan.
Di situ memang terlihat agak norak bagi orang yang tak terbiasa melakukannya. Namun bagi saya pribadi, meski ilmu agama saya tidaklah baik, saya hanya melihat sebuah kepatuhan isteri pada suami dan keridhoan atau keikhlasan sang suami untuk merelakan sang isteri berkarir sesuai keilmuannya.
Itulah yang saya lihat. Bagi orang lain itu mungkin aneh. Saya perhatikan beberapa teman, tak menyalami dan mencium tangan suami, meski usia pernikahan masih tergolong baru. Tentu ini ada alasan tertentu dan saya tak boleh menghakimi mereka sebagai isteri yang tidak menghormati suami. Saya tak berhak menghakimi mereka.
Namun bagi saya, urusan salaman dan mencium tangan suami ---syukur suami mencium kening isteri--- itu menginspirasi. Begitu saya bersuami, saya mencoba menerapkan hal yang sama, sampai saat ini. Hanya saja bedanya, saya jarang diantar jemput oleh suami meski dulu pernah satu instansi kerja juga. Saya selalu berangkat sendiri dan terbiasa mandiri.