Hampir dua minggu anak-anak belajar di rumah. Kebijakan dinas yang "merumahkan" siswa sementara waktu ini tentunya membuat jenuh anak-anak. Ya meski sebenarnya mereka masih bisa berinteraksi dengan sesama saudara satu sekolahnya yang rumahnya tinggal menyeberang gang.
Tak Pinjami Handphone, Kecuali ada bapaknya di rumah
"Ibu pinjami hand phone satu jam. Tapi gantian ya. Nggak boleh berebut!"
Anak-anak menyepakati persyaratan itu. Namun, namanya anak-anak, kesepakatan hanya dianggap angin lalu. Akhirnya mereka ribut karena handphone saya minta kembali. Salah satu anak merasa belum pegang hand phone. Dan itu berulangkali terjadi.
Belajar dari peristiwa yang sering terjadi tersebut, saya pastikan mereka tidak pinjam hand phone saya karena salah satu anak yang "menguasai" dibanding yang lain. Alhasil ribut dan nangis-nangis. Jadi cara aman, tak saya pinjamkan hand phone meskipun mereka merengek-rengek.
Dari kasus ini anak-anak bisa belajar sebab akibat. Jika tidak menuruti kesepakatan maka tidak ada fasilitas hand phone meski hanya sebentar. Mereka akan belajar disiplin membagi waktu peminjaman handphone agar merasa diperlakukan adil.
Anak-anak bisa pinjam hand phone bapaknya. Itupun kalau bapaknya berada di rumah karena anak-anak pasti akan menuruti perkataan bapaknya. Disuruh mengembalikan handphone, pasti buru-buru mereka menyerahkan handphone-nya.
Televisi menjadi pilihan bagi anak
Setelah selesai mengerjakan tugas pembelajaran, anak-anak akan menyetel televisi. Salah satu cara membuang rasa gabutnya. Mereka sadar kalau saya termasuk sebagai ibu yang galak dalam hal hand phone.ÂTayangan kartun dinikmati anak-anak dengan sering memindah channel televisi. Namun kadang anak menonton sinetron horor. Tentu tayangan tersebut kurang pas disaksikan anak-anak.
Film horor yang memang menakutkan bisa berdampak buruk juga. Anak bisa ketakutan dan mengingau saat tidur. Orang Jawa bilang anak akam kagum-kagum. Ada perasaan takut dalam gelap, mendengar suara tertentu dan tidak bisa tidur nyenyak.
Sekali lagi anak ngeyel ketika saya peringatkan untuk memindah channel televisi.
"Pindah channelnya, ndhuk. Filmnya bikin takut loh."
"Aku nggak takut kok. Mbok tenan!" jawab anak dengan suara lantang.
"Tapi nanti malem bisa takut loh, ndhuk. Ingat filmnya..."
"Halah. Nggak apa-apa. Key saja boleh nonton film horor, kok aku tidak."
Nah. Saya akhirnya ngalah. Anak menyaksikan film horor. Namun malam harinya anak saya bangun tengah malam ketika tidur di rumah simbahnya.Â
Pagi-pagi anak saya pulang ke rumah. Dia cerita kalau bangun sejak tengah malam. Tak lama kemudian, dia tidur di depan televisi.
Oleh simbahnya saya diceritai bahwa ternyata anak saya sebentar-sebentar membangunkan simbah. Ada saja obrolannya. Menanyakan simbah uti ---yang belum lama berpulang ke Rahmatullah--- baru ngapa dan sebagainya.
Saya lalu teringat bahwa anak saya memang nekat nonton film horor. Jadi dia benar-benar merasa takut karenanya. Jika saya tanyakan apa dia takut setelah nonton film horor, maka dia tidak mungkin mengaku.
Alhamdulillah sekarang sudah bisa dibilang bahwa anak saya kapok nonton film horor. Ya dia belajar sendiri dari kesalahannya yang tidak menuruti nasehat ibunya.
Pastinya banyak hal yang mereka pelajari dari tidak manutnya pada orangtua. Dua kasus itu hanya contoh kecil dari pelajaran hidup bagi mereka. Mereka belajar menemukan sendiri tentang sebab akibatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H