"Muti belum nikah juga?" Ihsan menanyakan adikku ketika kami bertemu lagi beberapa saat yang lalu.
Aku mengangkat bahu.
"Aku nggak berani tanya, San. Khawatir kalau dia tersinggung," jawabku. Aku ingat Muti patah hati dan begitu tertutup setelah itu.
Ihsan memiliki ide untuk mengenalkan Muti dengan teman kerjanya.Â
"Lah kenapa nggak sama kamu saja, San?"
Ihsan tersenyum.
**
Dulu kukira Ihsan dan Muti bisa menjadi dua sejoli yang serasi dan saling mengisi. Ternyata, begitu lulus kuliah mereka tak berkomunikasi lagi.
Saat aku sering mengantar Muti kuliah, hatiku bergetar ketika bertegur sapa dengan Ihsan. Namun rasa itu kupendam. Tak mungkin aku menyakiti Muti.
"Lah dulu, aku suka sama cewek. Ceweknya nggak peka..."
"Terus?"
"Sampai sekarang aku masih menyimpan harapan bisa bersamanya".
"Wah...setia banget kamu, San! Pasti cewek itu rugi kalau sampai menolakmu".
Ihsan tertawa mendengar ucapanku.
"Nggak tahulah, Ra..."
"Eh, ngomong-ngomong aku kenal nggak sih sama cewek itu?" tanyaku penasaran.
Ya selama mengenal kakak tingkat saudaraku itu aku selalu penasaran dengan perempuan yang ada di hati Ihsan. Kukira Muti, ternyata bukan.
"Mmmm... ada deh!"
"Ya udah. Nggak ngasih tahu juga nggak apa-apa".
Aku beranjak dari bangku taman. Kulangkahkan kakiku meninggalkan Ihsan. Aku mau pulang. Rintik  hujan mulai turun.
"Orang itu kamu, Ra!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H