Terlahir di tahun kabisat, bukan sebuah kesalahan meski membuatku kesal bukan kepalang. Selama 3 tahun, hari lahirku tidak dirayakan. Sementara temanku setiap tahun mengadakan perayaan ulang tahun.
Kalau bukan karena masalah perayaan ulang tahun, kukira aku akan menganggap hari dan tanggal lahirku bukan hal yang aneh atau unik.Â
Aku sadar, Allah sudah menentukan hari lahirku tanggal 29 Februari. Orangtua terutama ibuku yang melahirkanku secara normal juga tidak bisa memilih kapan bayinya akan dilahirkan. Meski HPL sudah diketahui, nyatanya bisa meleset.
Menurut ibu, HPL bayinya ---aku tentunya--- kala itu tanggal 3 Maret. Namun Allah sang Maha Penentu, menentukan tanggal 29 Februari.
Seperti halnya ibu lainnya, kelahiran bayi sebelum HPL lebih melegakan daripada kelahiran bayi yang mundur dari HPL.Â
"Yang terpikir oleh ibu, kamu bisa lahir dengan lancar, ndhuk. Nggak mikir tahun kabisat atau nggak..."
"Tapi, Akta Kelahiran bisa dimajukan atau dimundurkan kan tanggal lahirku?" protesku waktu aku berusia 2 tahun. Maksudku harusnya aku sudah berusia 8 tahun.
Ibu tersenyum. Ibu kebingungan untuk menjelaskan tentang hari lahirku.
"Aku maunya kalau ulang tahun juga dirayakan!"
Ibu hanya terdiam. Ayah yang baru saja pulang kerja tak tinggal diam.
"Oke. Tahun ini kamu kan ulang tahun. Kamu bisa undang teman-teman dan anak-anak panti..."