Hari ini saya sangat prihatin ketika mendengar penuturan seorang sahabat. Sahabat saya menuturkan bahwa tetangganya sangat khawatir pada anaknya. Si anak mengancam akan bunuh diri. Ini bukan perkara sepele. Apalagi si anak masih duduk di SD.
Usut punya usut, ternyata si anak merasa tertekan disekolahkan di sebuah sekolah pilihan ibunya. Dia merasa stress, untuk mengikuti pelajaran terasa sulit. Terlebih lagi, dia kesulitan menghafal surat-surat pendek dan konsep perkalian saja sulit. Padahal si anak sudah duduk di kelas VI.
Saya menimpali cerita sahabat saya. Ternyata si anak bersikeras untuk sekolah di sekitar tempat tinggal. Namun si ibu memaksakan anak untuk bersekolah di sekolah Islam Terpadu yang lebih mentereng.
"Mbok ya si ibunya dinasehati, jeng. Biar anak memilih sekolahnya nanti..."
"Walah, bu. Dia itu gengsinya luar biasa. Simbokku yang menasehati si ibu juga nggak didengar..."
"Tapi kasihan si anak kan, jeng..."
"Iya, bu. Sudah kukasih tahu ibunya. Kalau sekolah SD dan SMP itu nggak perlu jauh. Toh sekolah di manapun bagus. Tapi ya itu tadi, si ibu gengsinya tinggi..."
**
Siapapun yang sudah berkeluarga dan memiliki anak, pasti menginginkan hal terbaik bagi anaknya. Sejak anak dalam kandungan, dilahirkan, balita sampai sekolah pun semua dipikirkan.
Saking sayang dan khawatir dengan masa depan anak, tak jarang orangtua memaksakan kehendak pada anak. Sampai sekolah pun ditentukan orang tua.
Orangtua kurang menyadari bahwa hal yang dipikirkannya baik belum tentu baik untuk anak. Memang kewajiban orangtua adalah membekali anak dengan ilmu demi masa depan anak. Namun bukan berarti memaksakan anak harus sekolah di sini atau di sana.
Proses belajar anak akan lebih berhasil jika anak merasa nyaman di lingkungan sekolahnya. Tidak semua anak nyaman bersekolah di sekolah yang mentereng, dan belum tentu anak nyaman di sekolah standar.
Orangtua hanya perlu mengarahkan dan membimbing anak ketika di rumah. Jadi sekolah di manapun akan berhasil. Namun jika orangtua tidak membimbing dan mengarahkan anak ketika di rumah, sementara di sekolah anak tertekan, percuma saja.Â
Lebih baik menjadi orang tua yang demokratis. Bukan sebagai orang tua yang otoriter dan gengsian. Berikan kesempatan kepada anak untuk belajar sesuai hatinya. Dan lagi, jangan paksakan anak bisa ahli di semua mata pelajaran karena itu sangat sulit bahkan saya katakan mustahil.
Anak memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya itulah yang harus diasah agar anak tidak tertekan. Kekurangannya sebisa mungkin diminimalkan, tidak dihilangkan.Â
Orang tua perlu bekerjasama dengan banyak pihak agar anaknya asyik belajar. Bicara dengan guru si anak atau orang lain yang memahami psikologi anak. Bertanya kepada orang tua di sekitar pun bukan hal yang keliru.
**
Bekali anak dengan ilmu dan kasih sayang
Untuk bisa bertahan hidup di tengah perkembangan zaman yang sangat cepat, maka bekali anak dengan ilmu.
Dalam hal ini, anak diberikan kesempatan bersekolah. Sekolah dimanapun selama anak senang maka sudah pasti memegang kunci keberhasilan. Kenapa? Anak akan lebih bersemangat belajar.
Menciptakan Rumah yang Ramah Anak
Dalam belajar sendiri, anak harus lebih manusiawi atau humanis. Penuh kasih sayang.Â
Jika di sekolah didengungkan sekolah yang ramah anak maka di rumah perlu juga didengungkan rumah yang ramah anak. Di sekolah tidak ada perlakuan yang menimbulkan cacat secara fisik dan psikis. Bahkan ada inklusi bagi siswa yang kemampuannya kurang.
Nah, di rumah juga akan baik jika ramah anak juga. Maksudnya anak disayangi orang tua sepenuh hati. Disayangi di sini artinya dipahami kekurangan dan kelebihannya, tidak memaksakan kehendak, tidak membandingkan dengan anak lain, mengarahkan kesukaan anak. Jika ada hal yang keliru, maka nasehati anak. Bahkan jika sudah parah kekeliruannya, perlu juga dengan ucapan yang lebih tegas.Â
Sayang kepada anak bukan berarti menuruti semua keinginan anak. Jika itu dilakukan maka orangtua sedang menjerumuskan si anak ke hal negatif. Si anak akan menjadi pribadi yang lemah.
Jika anak disayangi orangtua di rumah dan guru di sekolah maka dia akan tenang dalam belajar. Akibatnya dia akan mencintai orang tua dan guru. Di masa depan akan menjadi penerus yang berkarakter kuat.
Semoga semakin banyak orangtua yang bijak dalam menyikapi anak, baik dalam hal sekolah, belajar agar anak tidak stress atau depresi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H