Kegiatan pembelajaran dalam sebuah kelas ada kalanya tenang, namun tak jarang ada kegaduhan. Memang dalam satu kelas terdiri dari sejumlah keunikan dan karakter yang berbeda. Jika dalam satu kelas ada 10 siswa maka ada 10 karakter dan keunikan siswa. Begitu juga dalam jumlah yang lain.
Dari sekian siswa pastinya ada sosok siswa "istimewa" dalam hal perilaku dan sifatnya. Siswa yang sangat berbeda dibandingkan dengan siswa yang lain. Siswa "istimewa" ini sering membuat keributan. Tak hanya satu dua siswa yang menjadi sasaran keusilannya.
Bisa jadi dalam satu kelas, hampir semua siswa merasakan keusilannya. Entah ucapan maupun perilaku. Perilaku dan ucapan usil tidak disertai dengan kemampuan akademik. Alhasil, siswa ini tak bisa menguasai materi dan nol dalam prestasi lainnya.
Siswa "istimewa" itu sudah pasti membuat guru judheg atau bingung. Apa keistimewaan siswa "istimewa" tadi. Meski dengan cara apapun, siswa sulit dinasehati, tidak mengerjakan tugas dan sebagainya.
Jika siswa usil tapi kecerdasannya lumayan, guru tak akan begitu judheg. Masih ada yang bjsa diandalkan yang pasti. Namun jika kemampuan benar-benar di bawah rata-rata tanpa perilaku yang baik, membuat guru lelah untuk mendidik, apalagi si guru masih dihadapkan pada siswa lain yang juga berkarakter berbeda.
Bagi guru yang sudah bertahun-tahun mengajar dan mendidik siswa, pasti sudah berpengalaman untuk menghadapi siswa dengan bermacam karakter. Meski sesekali emosi tak bisa ditahan, siswa tak keder juga.
Dari semua yang dilakukan siswa, ada hal lain yang membuat guru masih bernafas lega akan siswa "istimewa"-nya. Masih ada sedikit rasa takut dan khawatir ketika guru marah. Marah dalam hal ini tidak harus ditunjukkan dengan suara meledak-ledak.
Siswa saya pernah menangis ketika saya mengingatkan dengan tegas, tentang orangtuanya, tentang tanggungjawabnya dan sebagainya. Meski ada sedikit rasa bersalah juga ketika harus mengatakan hal tersebut. Ada rasa khawatir juga jika orangtuanya tidak terima jika anaknya saya perlakukan seperti itu.
Satu yang pasti, yang saya jadikan pedoman ketika berhadapan dengan siswa "istimewa" dan orangtuanya, bahwa saya tidak sekadar mengajar tetapi juga mendidik. Seperti mendidik anak sendiri karena bagaimanapun siswa adalah anak saya juga ketika di sekolah. Justeru akan salah apabila saya bersikap lembek terus pada siswa.Â
Masih ada banyak kisah lain yang menunjukkan bahwa siswa "istimewa" masih memiliki nurani. Seperti terakhir yang saya perhatikan dari seorang siswa di kelas yang saya ampu.Â
Saat penyerahan rapor, dengan santai siswa tadi berangkat sekolah tanpa mengenakan seragam. Dia hanya mengenakan kaos, itupun bukan kaos seragam olahraga. Memang siswa itu kurang tertib dalam berpakaian seragam. Sampai saya merasa lelah juga untuk mendisiplinkannya.