Seperti halnya semasa hamil, di awal masa balita, ibu tak malu mengajak bayinya berbicara meski responnya bukan sebuah kata. Dari ajakan bicara itulah anak akhirnya bisa mengenal kata demi kata serta maknanya.
Dari masa kecil kita, ibu dikenal sebagai guru bagi anak. Ibu adalah pengajar yang tak diragukan kemampuannya. Siapapun perempuan yang telah melahirkan anak, dia akan menjadi guru bagi anak-anaknya.
Ketika akan tidur, tak jarang ibu mendongeng cerita-cerita yang sarat nilai positif bagi anak. Mendongeng bukan perkara mudah. Nyatanya ibu bisa melakukannya. Meski rasa lelah menderanya, demi sikap dan spiritual anak yang positif, ibu tetap menjadi pendongeng yang unggul.
Unggul artinya tak harus seperti para pendongeng ulung masa kini, yang bisa mendapat segi keuntungan finansial. Ibu takkan berpikir keuntungan seperti itu. Cukup anaknya bersikap baik, ibadahnya baik dan memanusiakan manusia lain, itu sudah menjadi hadiah luar biasa dari anak.
Menginjak usia remaja dan dewasa, pitutur ibu mengikuti perkembangan usia anak. Di masa ini, ibu berperan sebagai teman dan ibu sekaligus. Nasehat masih keluar dari ibu. Tak peduli dinilai cerewet, tak peduli dikatakan galak. Toh ibu tetap perempuan mulia.
Perempuan menjadi sosok mulia, sesuai dengan perkataan nabi Muhammmad bahwa ibu harus dihormati dan dimuliakan. Itu dikatakan tiga kali oleh nabi, baru kemudian ayah menjadi sosok yang dimuliakan.
Saya pribadi sangat merasakan bagaimana pitutur ibu menjadi arah jalan hidup saya. Meski dalam hal pendidikan ---kuliah--- saya tak mengikuti keinginannya. Ibu memang demokratis. Selama anak-anak bisa mengikuti perkuliahan dengan baik dan serius, ibu selalu mendukung.
Pitutur mulia ibu masih terus terjadi ketika saya memperjuangkan nasib saya sebagai seorang pendidik di sebuah sekolah swasta. Saat itu ibu mengalami stroke, namun ketika saya meminta doa restu untuk kesuksesan dalam PLPG selama 10 hari, ibu mendoakan dengan tulus.Â
Saya yakin, ibu ingin dan berharap saya bisa menjadi guru PNS seperti tiga saudara saya. Namun untuk saat itu perjuangan untuk kelulusan PLPG menjadi pengganti harapan itu. Harapan dan doa ibu terkabul. Saya lulus PLPG.
Saya syukuri nikmat demi nikmat yang saya peroleh sampai saat ini. Semua itu pastinya atas doa ibu yang membuka pintu langit dan mempermudah tercapainya harapan dan doa saya.
Ibu, sungguh adalah sosok mulia. Dari mulutnya benar-benar menjadi jalan hidup manusia. Sedih, marah dan lelah yang dirasakan ibu selama merawat anak, membuatnya layak dikatakan sebagai bidadari tanpa sayap.