Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pitutur Ibu, Pembuka Pintu Langit

22 Desember 2019   00:33 Diperbarui: 22 Desember 2019   00:49 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti halnya semasa hamil, di awal masa balita, ibu tak malu mengajak bayinya berbicara meski responnya bukan sebuah kata. Dari ajakan bicara itulah anak akhirnya bisa mengenal kata demi kata serta maknanya.

Dari masa kecil kita, ibu dikenal sebagai guru bagi anak. Ibu adalah pengajar yang tak diragukan kemampuannya. Siapapun perempuan yang telah melahirkan anak, dia akan menjadi guru bagi anak-anaknya.

Ketika akan tidur, tak jarang ibu mendongeng cerita-cerita yang sarat nilai positif bagi anak. Mendongeng bukan perkara mudah. Nyatanya ibu bisa melakukannya. Meski rasa lelah menderanya, demi sikap dan spiritual anak yang positif, ibu tetap menjadi pendongeng yang unggul.

Unggul artinya tak harus seperti para pendongeng ulung masa kini, yang bisa mendapat segi keuntungan finansial. Ibu takkan berpikir keuntungan seperti itu. Cukup anaknya bersikap baik, ibadahnya baik dan memanusiakan manusia lain, itu sudah menjadi hadiah luar biasa dari anak.

Menginjak usia remaja dan dewasa, pitutur ibu mengikuti perkembangan usia anak. Di masa ini, ibu berperan sebagai teman dan ibu sekaligus. Nasehat masih keluar dari ibu. Tak peduli dinilai cerewet, tak peduli dikatakan galak. Toh ibu tetap perempuan mulia.

Perempuan menjadi sosok mulia, sesuai dengan perkataan nabi Muhammmad bahwa ibu harus dihormati dan dimuliakan. Itu dikatakan tiga kali oleh nabi, baru kemudian ayah menjadi sosok yang dimuliakan.

Saya pribadi sangat merasakan bagaimana pitutur ibu menjadi arah jalan hidup saya. Meski dalam hal pendidikan ---kuliah--- saya tak mengikuti keinginannya. Ibu memang demokratis. Selama anak-anak bisa mengikuti perkuliahan dengan baik dan serius, ibu selalu mendukung.

Pitutur mulia ibu masih terus terjadi ketika saya memperjuangkan nasib saya sebagai seorang pendidik di sebuah sekolah swasta. Saat itu ibu mengalami stroke, namun ketika saya meminta doa restu untuk kesuksesan dalam PLPG selama 10 hari, ibu mendoakan dengan tulus. 

Saya yakin, ibu ingin dan berharap saya bisa menjadi guru PNS seperti tiga saudara saya. Namun untuk saat itu perjuangan untuk kelulusan PLPG menjadi pengganti harapan itu. Harapan dan doa ibu terkabul. Saya lulus PLPG.

Saya syukuri nikmat demi nikmat yang saya peroleh sampai saat ini. Semua itu pastinya atas doa ibu yang membuka pintu langit dan mempermudah tercapainya harapan dan doa saya.

Ibu, sungguh adalah sosok mulia. Dari mulutnya benar-benar menjadi jalan hidup manusia. Sedih, marah dan lelah yang dirasakan ibu selama merawat anak, membuatnya layak dikatakan sebagai bidadari tanpa sayap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun