Kemarau panjang tahun ini sepertinya merata hampir di seluruh wilayah negeri. Dampak kekeringan sangat terasa. Udara panas, matahari panas menyengat. Membuat gerah tubuh.
Tak hanya manusia, tumbuhan mulai kering, bahkan terlihat ada yang mati mengering. Pepohonan jati sudah meranggas, pertanda pepohonan mengurangi penguapan, menghemat cadangan air agar tetap bertahan hidup.Â
Sawah- sawah sudah nelo. Nyaris tak ada padi yang menghasilkan bulir padi yang penuh. Sawah terancam puso. Ya sawah kekurangan air. Tak jarang para petani yang nekat mengolah sawahnya harus berebut aliran air. Atau kalau tidak, mereka yang bisa dikatakan berduit harus ndhiselke, mengalirkan air dari sungai yang jaraknya cukup jauh dan airnya juga mulai menyusut. Tak masalah harus mengeluarkan uang, yang jika dibelikan beras pastinya bisa mendapat berkarung- karung. Ya jiwa petani benar mendarah daging pada mereka. Mereka berpikir kalau sawah tak diolah maka nanti akan membuat pengeluaran semakin besar di musim tanam lagi.
Hal itu ditambah lagi dengan ilmu yang diperoleh dari penyuluhan dalam Keluarga Kelompok Petani. Mulai cara pengolahan, pemupukan dan sebagainya mereka pelajari lebih detail dari pakar pertanian. Itulah yang semakin memacu para petani tetap mengolah sawahnya.Â
Saat ini para petani gigih itu tengah berbahagia karena di tengah musim kemarau panjang, padi telah dipanen dan selesai dijemur. Gabah disimpan di lumbung sebagai persediaan beberapa bulan. Saatnya menikmati hasil panen. Jerih payah mereka tak sia- sia.
Namun masalah lebih besar muncul. Apalagi kalau bukan masalah air. Di tempat kami dikenal sebagai dusun yang tak pernah kekurangan air meski musim kemarau dan berada di wilayah kabupaten Gunungkidul. Kali ini kami merasakan sulitnya mendapat air.Â
Belik atau pemandian yang selalu melimpah airnya menjadi kering sama sekali. Sumber air tak memunculkan air lagi. Sungguh luar biasa kemarau kali ini. Padahal di belik ini anak- anak sering jeguran. Di sisi luar belik ada pengangson yang fungsinya untuk keperluan air bersih warga.
"Belike wis ora isa nggo jeguran. Asat greng..."
Begitu kabar yang kuberikan kepada warga dusun yang merantau di luar provinsi. Banyak reaksi dari kabar yang aku berikan.
"Ya Allah, tenanan iku, dik?"Â
"Rasanya nggak mungkin kalau dusun kita kekeringan seperti itu..."
Masih banyak lagi komentar lain yang berisi kenangan mereka ketika bermain, bersendagurau, mandi di belik.
"Nggon pengangson piye kuwi, mbak...?"
Ya. Kabar tak baik itu harus mereka ketahui. Dusun tercinta kami sudah tak seperti dulu. Yang dulu air melimpah, menjadi kering.
Tak heran ketika mulai memasuki bulan November, kami menyambut bahagia saat dini hari ---sekitar pukul 02.00--- gerimis menyapa telinga kami yang sudah terlelap.Â
Warga yang terbiasa bangun di sepertiga malam akhirnya keluar rumah demi meyakinkan kalau gerimis memang turun. Bau ampo, tanah yang tersiram air hujan, menusuk hidung kami. Khas sekali harumnya.
Harapan kami, musim hujan segera menggantikan kemarau panjang. Berharap mendung hitam yang menggantung di atas tanah kelahiran kami benar sebuah tanda musim hujan tiba. Air yang diturunkan dari langit olehNya adalah hujan yang bermanfaat, bukan yang membawa bencana.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI