Saya pernah mendapatkan pesan lewat Whatsapp dari seorang Kompasianer bahwa apapun yang terjadi akan terus menulis di K, entah respon admin atau pembaca seperti apa, tak dipikirkan.
Alasannya untuk menulis karena memang sudah hobi dan sebagai terapi bagi otak. Otak yang digunakan untuk bekerja pasti sering jenuh dan stress. Nah untuk menghilangkan stress itulah maka bisa diluapkan dalam bentuk tulisan entah puisi, cerpen atau artikel lainnya. Sehari saja tak menulis, bisa pusing. Â Â
Kalau saya pribadi sebagai perempuan yang sudah memiliki suami dan anak, pasti juga merasakan capek, kesal dan perasaan lainnya. Karenanya, saya melepaskan uneg- uneg yang sesuai dengan kepribadian saya.
Saya tak seperti perempuan lajang yang bisa bepergian ke sana kemari untuk menghibur hati yang kalut dan pikiran yang jengah. Saya sudah kecinthung, tak bisa ke sana kemari dengan bebas. Ada anak dan suami yang membutuhkan saya di rumah. Kalaupun keluar rumah ---dolan---, baru sebentar saja hati tak tenang memikirkan anak yang mungkin rewel dan bapaknya tak bisa menenangkannya.
Refreshing bersama anak dan suami pun terbatas. Suami tak selalu standby untuk menemani dolan. Rencana mau ambil cuti saja selalu gagal meski sudah direcanakan sejak beberapa tahun yang lalu. Saya juga tak terlalu menuntut sebenarnya. Sejak awal saya menerimanya sebagai calon suami, saya sudah tahu resiko jika menikah dengannya.
Nah, untuk menghilangkan stress dan terapi bagi otak dan hati, ada beberapa yang saya lakukan. Pertama menulis. Segala kerisauan yang saya alami, terutama ketika mengajar saya wujudkan dalam bentuk artikel. Jika diperhatikan, artikel edukasi yang saya tuliskan, itulah yang saya alami, rasakan dan pikirkan.Â
Dalam menuliskannya saya berharap ada masukan atau komentar, sebagai masukan bagi saya atas "masalah" saya di sekolah. Bahkan mungkin bisa juga saya dapatkan dari tulisan Kompasianer lainnya. Menulis memang harus diimbangi dengan membaca. Pengetahuan akan lebih luas dan terbuka, bahkan bisa menginspirasi baik dalam hidup bermasyarakat, di sekolah dan tentunya dalam menulis.
Berikutnya, yang tak kalah dengan menulis dan membaca, saya membuat coretan gambar untuk menghilangkan stress. Kemampuan menggambar memang tak keren seperti pelukis, sarpras saja tak punya. Yang penting menggoreskan sketsa pada kertas kosong, akan membuat hati lebih tenang.
Menggambar merupakan wujud ekspresi kejiwaan yang menyenangkan. Tak perlu memikirkan keindahan gambar. Toh yang namanya keindahan gambar juga relatif.Â
Saya hanya sekali mendapatkan materi ini dari salah satu dosen saya. Karena keterbatasan belajar saya, ya hasilnya seadanya saja. Ilmu itu bukan hanya saya konsumsi sendiri, siswa yang menjadi target utama dan hasil gambar saya kalah dibandingkan dengan beberapa siswa berbakat.
Alhamdulillah. Saya senang tentunya. Ilmu seadanya tetapi ketika ditularkan ternyata hasilnya lebih bagus milik siswa. Akhirnya tak jadi stress ketika menghadapi siswa di dalam kelas.
Ya...itulah obat stress atau terapi otak ala saya. Kalau dulu kala, saya biasa nyanyi meski agak fals, sekarang pasti lebih fals. Hahaaa.. Bukan berarti saya tak nyanyi lagi. Nyanyinya bareng anak- anak saja, biar telinga mereka mengenal lagu anak- anak seperti karya Ibu Sud, AT Mahmud, dan sebagainya. Â Â