Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Pesan Husna untuk Ayahnya

27 Agustus 2019   06:19 Diperbarui: 27 Agustus 2019   06:37 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ibu..., mana ayah?"

Husna menemuiku di teras. Dia mencari ayahnya yang tadi mengobrol denganku. Aku tahu, dia masih kangen dengan ayahnya. Dia ingin bercerita banyak hal kepada ayahnya. Ya meski sebenarnya dia sudah curhat juga kepadaku. 

Dia ingin dekat dengan ayahnya. Jadi dia tak peduli meski harus sering mengulang cerita yang sudah kuhafal di luar kepala. Aku pernah menegurnya untuk bercerita hal lain.

"Ayah kan belum dengar, bu..."

Ya. Memang baru aku yang mendengar ceritanya. Aku pernah juga akan meninggalkan mereka berdua ketika bercengkrama tapi Husna memaksa aku untuk tetap bersama mereka.

Alhasil aku jadi agak sebel juga. Ayah Husna hanya tersenyum melihatku tak menikmati cerita Husna.

"Sudahlah, Put. Turuti saja kemauan Husna. Namanya juga anak. Dia pasti ingin merasakan bagaimana kalau dekat dengan kedua orangtuanya di waktu yang sama..."

Ucapan mas Mumtaz itu ada benarnya memang. Husna pernah mengatakan ingin sekali tempo bersama ayah ibunya. Aku hanya mengiyakan tanpa berusaha mewujudkan harapan Husna. 

**

"Sudah malam, Husna. Jadi ayah pulang..."

Husna terlihat cemberut mendengar keteranganku. 

"Kok begitu? Ayah tuh kenapa sih, bu?"

"Ibu nggak tahu, Husna..."

"Kalau begitu ibu tanyakan ayah..."

Selanjutnya Husna merajuk, ingin menelepon ayahnya. Aku hendak mengambilkan HP Husna tapi Husna tak mau.

"Telepon ayah pakai HP ibu saja..."

***

Mas Mumtaz tak juga mengangkat telepon Husna. Mungkin dia merasa benar- benar kesal padaku. Tapi harusnya putrinya menjadi sasaran kekesalannya kan?

Aku menghibur Husna, putriku yang beranjak besar. Aku lihat putriku masih memegang HPku. Lalu mengetikkan sesuatu. 

"Ibu jangan hapus pesanku ya..."

Husna menyerahkan HPku. Kuanggukkan kepala. Kurangkul gadisku itu untuk tenangkan hatinya. Ya...Husna menjadi korban perpisahan orangtuanya. Sang nenek tak memahami cucunya. Sementara aku tak berdaya. Mas Mumtaz pun demikian. Karenanya aku sudah menepikan harapan untuk bersama Mas Mumtaz. 

Aku tak paham lagi apa itu cinta, sayang dan rindu padanya. Aku hanya memikirkan kebahagiaan Husna dan aku sendiri. Kalau mas Mumtaz datang ke rumah, kuanggap untuk memberikan kasih sayang untuk Husna.

Setelah perceraiannya dengan Intan ---yang saat ini sudah berumah tangga dengan Dino--- memang kadang terjadi romantisme antara kami. Namun di saat aku ingat nasib kisah kami, aku tepiskan harapan untuk bersatu lagi.

***

Keesokan harinya.

"Bu, ayah membalas pesanku apa nggak?"

Aku mengangkat bahuku. Lalu kuambil HP yang semalaman tak kusentuh lagi setelah dipakai Husna. Aku serahkan HP pada putriku.

Husna antusias sekali menerima HPku.

"Yaaaa... Ayah nggak bales WAku, bu..."

Husna terlihat kecewa. Aku mengecek chat Husna untuk ayahnya. Aku kaget melihat dan membacanya.

"Husna, kalau misalnya kamu diolok- olok sama temanmu bagaimana...?"

"Nggak ada yang mengolok- olokku kok, bu..."

Aku menghela napas panjang. Putriku itu rupanya kesal sekali pada ayahnya. Sampai dia mengirimkan pesan kalau ayahnya jelek. Satu pesan tapi dampaknya luar biasa. Aku sendiri tak pernah melihat putriku mencela orang lain.

"Husna, ayahmu pasti marah sama kamu. Ayah capek tapi kamu malah bilang kalau ayah jelek..."

Husna masih cemberut. 

"Habis... Ayah pergi tanpa bilang ke aku..."

Aku tersenyum. Aku paham kerinduan Husna pada ayahnya. Harusnya kemarin Husna bahagia dijemput ayahnya. Namun yang dilihat dan dirasakannya hanya sikap aneh ayahnya.

"Nanti kamu minta maaf sama ayah ya, sayang..."

***

Di sekolah. Di sela pergantian jam pelajaran aku mengirimkan pesan pada mas Mumtaz. Aku sudah berjanji pada Husna untuk menghubungi ayahnya. Kalau aku mangkir, Husna bisa marah padaku juga. Aku jadi mengkhawatirkan psikis Husna.

"Mas, tadi Husna nanyain. Pesannya kok nggak dibales..." kuketik pelan pesan untuk mas Mumtaz, lalu kukirimkan.

"Tolong mas bales ya. Ke HP Husna saja kalau nggak mau bales lewat kontakku..."

Dua pesan kukirimkan. Centang hitam dua segera berganti warna biru. Ah...rupanya ayah Husna langsung membaca pesanku. Beberapa saat kemudian terlihat kalau dia mengetikkan balasan. Aku tersenyum. Aku tak tahu, kenapa aku merasa lega melihat ayah Husna mengetikkan balasan pesanku. 

"Pesan yang mana..." balasnya pada sorotan chat pertamaku.

"Nggak ada pesan dari Husna..." lanjut balasannya.

Kuketikkan balasanku. Kusorot pesan Husna semalam.

"Ini pesannya.."

Aku menunggu balasan selanjutnya.

"Kukira itu pesanmu. Jadi nggak kubalas..."

"Bilang Husna, ayah besok ke rumah kalau ibu masih sayang ayah..."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun