"Sudah. Nggak usah jaim gitulah, Sher. Nanti kamu kelaparan kalau tak makan lagi. Nggak enak sama bapak ibumu. Bisa- bisa aku dicoret dari nama calon mantu..."
Lagi- lagi Sherly tertawa. Mungkin dia merasa kalau aku mengalihkan pembicaraan tadi. Aku tak peduli. Â Aku lebih peduli dengan perut Sherly yang pasti juga lapar. Kupaksa Sherly untuk makan. Dia tak bisa mengelak.Â
"Kamu tak usah khawatir kalau gemuk, Sher. Aku menerimamu apa adanya kok..."
Aku mulai melancarkan aksi gombalan ke Sherly. Lama juga aku tak melakukannya.
"Bahkan sampai tua pun aku tetap menerimamu dengan ikhlas..."
"Sudahlah, mas. Katanya lapar, kok malah bicara terus..."
"Iya, sayang. Tapi aku suapi kamu ya..."
Aku lihat Sherly masih ogah- ogahan menyentuh makanan di depannya. Kuajukan sendok yang terisi nasi dan lauknya. Sherly menolak.
"Iya, mas. Aku makan sendiri saja. Malu sama pengunjung lain..."
"Ngapain malu? Kamu tahu nggak, Sher... kamu pantas kuperlakukan istimewa karena kamu pahlawan hidupku..."
Sherly yang baru mulai makan, jadi tersedak. Buru- buru kusodorkan minuman untuknya. Kujelaskan bahwa dialah yang keluarkan aku dari kegelapan. Dia yang mencerahkan hatiku setelah keterpurukanku. Bukankah itu bisa kukatakan kalau dia pahlawan?