Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Benteng Pertahanan itu Bernama Karakter Diri, tapi...

15 Agustus 2019   12:45 Diperbarui: 15 Agustus 2019   16:22 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KPI berencana akan mengawasi konten yang diunggah pada akun sosmed, selain konten di televisi. Akibatnya terjadi pro kontra dalam masyarakat. Ada yang berpendapat bahwa KPI kurang kerjaan. Mengurusi tayangan televisi saja seakan tak punya taring, masih banyak sinetron alay yang nyaris unfaedah dan cenderung merusak moral anak bangsa.

Di lain pihak, ada juga yang menyetujui "ulah" KPI. Alasannya jiwa anak- anak akan aman dari pengaruh negatif dari banyak konten yang terunggah di channel youtube maupun sosmed lainnya. Orangtua akan merasa kesulitan memantau anak dalam mengonsumsi video yang ada di youtube. 

Anak-anak cenderung menyukai youtube ketimbang youtube anak. Padahal dari youtube anak, konten yang bisa dinikmati anak bisa disetel sesuai usianya. 

Mengapa saya katakan seperti itu? Anak saya sendiri juga begitu. Mereka lebih leluasa menyetel video dari youtube. Meski sebenarnya yang disetel juga seputar film anak, permainan dan sejenisnya. Film anak sendiri yang sering distel adalah film yang sering diputar di sebuah stasiun televisi.

Entahlah, kenapa anak saya lebih suka menonton film- film itu di channel youtube. Mungkin menyaksikan film di televisi kurang sabar, banyak iklan bertebaran di sana. Iklan itu mau tak mau harus ditonton sampai selesai. Kalau memindah channel televisi khawatir bisa tertinggal tayangan kesayangannya. Padahal di youtube anak- anak bisa skip iklan yang tayang pada detik tertentu.

Memilih tontonan di televisi maupun youtube jika dilandasi karena kesenangan pada film tertentu yang positif saja saya kira tak masalah. Karakter anak harus terbentuk dulu---yang ditanamkan oleh otangtua, terutama ibu---. Bahwa anak seusia mereka, mereka harus menonton apa harus mereka ketahui.

Akan tetapi jika mengingat bahwa anak selalu memiliki rasa penasaran yang cukup tinggi terhadap sesuatu, maka sebagai orang tua atau guru, kita harus merasa khawatir juga. Rasa keingintahuan mereka memang wajar tetapi harus tetap diawasi.

Siapa pengawas yang paling efektif? Kita mungkin merasa kesulitan menemukan sosok yang bisa mengawasi aktivitas anak secara full setiap harinya. Lalu bagaimana jika KPI mengambil alih tugas itu? 

Menurut hemat saya, KPI fokus dulu ke tayangan televisi. Berikan peringatan dan "hukuman" jika ada tayangan yang merusak moral anak bangsa dan jam tayang yang tidak tepat. Sinetron yang tidak mendidik dan tayangan gosip perlu dibatasi. Bahkan kalau perlu dihapus dari acara televisi.

Baru setelah urusan pertelevisian sudah rapi, bolehlah KPI mengurusi konten di berbagai akun sosmed. Biar tidak dikatakan sebagai organisasi yang tak tahu ketugasannya. Bagaimanapun KPI tak boleh lepas tangan terhadap tayangan televisi yang tak bermanfaat dan merusak penerus bangsa.

Menyelamatkan anak bangsa dari berbagai konten yang tidak mendidik, tak hanya tanggungjawab orangtua, guru, masyarakat. Semua pihak, termasuk pemerintah dari tingkat bawah sampai pusat pun harus tegas. 

Selain itu harus ada kesadaran juga dari pembuat konten dan tayangan televisi. Membuat konten dan tayangan televisi harus bermanfaat. Tak asal membuat saja. Semua orang Indonesia juga bisa menyumbangkan banyak hal demi pembangunan bukan? Sesuai dengan bidangnya masing- masing pastinya. 

Dengan membuat konten yang positif maka selain ikut serta membangun negara, juga bernilai pahala. Bekerja harus menyeimbangkan dengan kerohanian juga kan? Jangan hanya memikirkan hal duniawi saja, urusan akhirat juga harus dipikirkan.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun