Setelah aku bertemu Nita dan mendengar kisah Andro, rasanya hatiku merasa bersalah. Aku sudah terlalu lama berburuk sangka padanya. Ya meski nyatanya Andro memang cukup membuat hatiku kesal tak karuan.
Dulu dia tak menganggap aku sebagai teman yang harus ditolongnya. Aku dianggap sebagai saingannya sehingga dia membiarkan aku terjerumus dalam jurang kemalasan.Â
Ya selama SMA kami belajar di satu sekolah. Aku dan dia selalu bersaing untuk mendapatkan prestasi terbaik. Dalam hatiku sendiri, ada rasa puas kalau bisa mengalahkan Andro dalam prestasi di sekolah.
Andro juga merasa kesal kalau prestasi akademiknya berada satu tingkat di bawahku. Ibu Andro dan ibuku sendiri ---kalau bertemu--- sampai geleng kepala melihat aroma persaingan kami kala sekolah.Â
Ternyata masuk bangku kuliah pun pilihan kampus ketika seleksi masuk perguruan tinggi negeri juga sama. Diterima pun di fakultas dan jurusan yang sama. Aku sampai tak habis pikir. Kenapa itu bisa terjadi. Padahal mimpiku dulu, aku dan Andro bisa beda kampus.
Entahlah. Mungkin ada rahasia Illahi yang belum kupahami sampai saat ini. Sudah saatnya aku menemukan apa rahasia di balik semua itu.Â
**
Di kantor dosen. Hanya ada aku. Dosen lain baru di kelas dan menunaikan shalat di masjid kampus.
Aku masih sibuk dengan tugas-tugas mahasiswaku yang harus segera kuselesaikan. Kubagi waktuku sedemikian rupa, agar kuliah magisterku juga berjalan lancar.Â
Di tengah aku mengoreksi tugas mahasiswaku, aku disapa suara yang tak begitu asing. Masih dengan gayanya dulu. Asal bicara dan sok kenal denganku. Entah kapan dia masuk kantor dan ada keperluan apa di kampus.Â