Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Event Cerita Mini] Pernah Takut Huruf Hijaiyah

7 Juli 2019   19:40 Diperbarui: 7 Juli 2019   20:02 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pict: republika.co.id

Ketika aku kecil, terus terang aku sangat takut dengan huruf hijaiyah. Tak seperti anak-anak zaman sekarang, usia TK pun sudah dilatih membaca buku Iqra.

Sampai kelas II aku belum bisa membaca Iqra. Bagiku huruf- huruf hijaiyah begitu aneh dan membuatku takut. Apalagi kalau bukan karena aku kesulitan menghafal huruf-huruf itu. 

Dibandingkan dengan saudara kembarku, aku kalah jauh. Aku ingat, saudara kembarku membaca iqra duluan dibanding aku. Dia mau belajar sama ibu, aku malah main di halaman sekolah yang kebetulan berdekatan dengan rumah orangtuaku.

Sengaja aku main di halaman sekolah. Niatnya mau menghindari huruf- huruf unik yang menakutkan itu. Kulihat bentuknya macam-macam. Rasanya sulit untuk membedakan. Namun belum lama aku main rumah-rumahan di halaman sekolah yang berpasir, saudara kembarku menyusul ke halaman sekolah.

"Mbak Jora, pulang dulu. Disuruh sama ibu..."

Saudara kembarku menyuruhku pulang. Dengan langkah gontai aku pulang.

"Cuma mudah kok, mbak" terang kembaranku.

*

Di rumah. Ibu masih berada di ruang tengah. Di depan meja ---di hadapannya--- terdapat buku kecil untuk belajar mengaji. Iqra namanya. Dengan berdebar aku mendekati ibu. Kubuka perlahan iqra itu dan mencoba mengenal huruf satu persatu.

Apa komentar ibu?

"Kok lancar Zahro bacanya..." 

Kesal pastinya ketika mendengar komentar ibu. Tapi mau bagaimana lagi? Aku sudah takut duluan dengan huruf hijaiyah. Jadi sulit untuk menghafalnya.

Selain belum bisa membaca Iqra, untuk hafalan Juz Amma atau surat- surat pendek pun sulitnya minta ampun. Bapak sampai marah karenanya. Kemarahan bapak masih ditambahi cerita dari bulikku.

"Kalau simbah kakung masih hidup, kamu bisa dimarahi betulan. Kamu bisa dipukul atau disabet pakai ranting kayu"

Aku tak mempedulikan. Sampai akhirnya di kelas III saat liburan sekolah selama satu bulan di dusunku diselenggarakan TPA pertama untuk kalinya. Bahkan sekecamatan pun termasuk TPA paling awal. 

Santri yang belajar di TPA Sholihin waktu itu berasal dari berbagai desa di kecamatan Karangmojo. Jumlahnya ratusan. Senang mengenal para santri itu yang usianya beragam.

Dengan ketelatenan ustadz ustadzahnya akhirnya huruf- huruf hijaiyah yang kulihat aneh, akhirnya bisa kutaklukkan. Tak kalah dengan saudara kembarku. Ada seorang ustadz yang termasuk killer yang mengujiku di halaman EBTAnya.

Selama satu bulan pesantren TPA, aku berhasil membaca Iqra sampai jilid 6 kurang dari sebulan. Aku sama sekali tak diajari oleh orangtuaku meski orangtuaku termasuk penggerak TPA. Aku juga senang tak diajari mereka. Sungguh tak enak kalau diajari mereka. Kalau salah nanti langsung kena marah. Males kan? Di rumah dimarahi, eh di TPA juga harus dimarahi...

Tapi beda kalau aku diajari ustadz lainnya. Aku lebih manut dan mudah paham. Tak kena marah pula. Mungkin keadaan ini sama dengan anak-anak para guru atau ustadz. Anak- anak guru akan sulit dinasehati dan diajari orangtuanya. Mereka cenderung manut pada guru atau ustadz lainnya.

Hal yang terpenting dari ustadz selain orangtua adalah aku bisa membaca Iqra dan Alquran dalam waktu singkat. Sementara teman lainnya dalam waktu yang sama belum tentu bisa lulus membaca Iqra.

Sampai akhirnya, ketika SMP setiap Sabtu sore aku dan kembaranku sudah dimintai bantuan untuk mengajari santri-santri TPA dengan bekal pengamatan bagaimana cara mengajar para ustadzku dulu. Tak diberi imbalan pun aku sudah senang. Apalagi santri yang pernah kubantu belajar baca Iqra sampai saat ini masih ingat aku dan sering menyapaku.

Ilmu yang kutularkan pasti nanti akan bermanfaat juga untukku. Bahkan ketika aku sudah menjadi guru pun ilmu selama TPA di kelas III SD dulu bermanfaat untuk sekolah juga. 

Meski aku bukan guru Agama dan bukan lulusan pesantren alhamdulillah di sekolah dipercaya untuk menangani perlombaan bidang keagamaan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun