Menulis adalah salah satu hobi yang saya geluti belum lama ini. Berawal dari pembuatan blog pribadi dan akun Cerita Ringan di sebuah platform, saya belajar banyak agar bisa menulis lebih baik, meski jika diprosentase lebih banyak yang belum baik. Semula hanya untuk melepaskan kepenatan dan biar tidak stress dengan rutinitas sebagai ibu rumahtangga dan pendidik.Â
Di Kompasiana ini pun saya masih belajar dari para senior. Membaca karya-karya mereka membuat saya merasa belum ada apa-apanya. Tulisan saya terkesan asal dan kurang berkualitas. Kategori puisi, cerpen dan edukasi yang sering saya tuliskan.Â
Edukasi lebih dekat dengan keseharian saya. Hanya menuliskan kegalauan, fenomena yang saya tangkap dari dunia sekolah. Dan itu berangkat dari pengalaman pribadi.
Cerpen saya buat biar pikiran fresh saja. Tak ada yang istimewa dari cerpen saya. Kalau ada yang bilang harus ada pembiasaan untuk menulis cerpen namun hasilnya ya masih seadanya.Â
Terakhir, puisi. Saya termasuk orang yang nekat bikin puisi. Hanya yang ada di pikiran, itulah yang saya tuliskan. Meski ada beberapa puisi yang diapresiasi admin Kompasiana, saya hanya bilang, itu kebetulan saja.
Bisa saya katakan saya benar-benar keblasuk atau tersesat di kategori puisi ini. Pelajaran Bahasa Indonesia dan bikin puisi masih banyak teman yang lebih bagus ketika sekolah dulu.Â
Singkat cerita, saya diajak oleh senior  sekaligus saya anggap sebagai teman dan kakak, mbak Anis, untuk ikutan proyek penulisan buku puisi berbalas. Bersama mbak EcyEcy yang cantik, kami membantu mbak Anis untuk mengumpulkan materi atau link puisi yang telah terpublikasi di Kompasiana.Â
Dengan keterbatasan kami, alhamdulillah selesai juga proses editingnya. Dalam proses edit, cukup kesulitan juga. Pak Ping yang memberi masukan kepada kami agar materi tulisan lebih jelas dan rapi karena puisi utama dan balasan semula belum jelas. Juga agar ada keseragaman dalam menuliskan titi mangsa dan beberapa istilah yang harus diItalic. Untuk mengendorkan stress saya, pak Ping dengan santai ngendika, "Wis biarkan saja. Siapa tahu nanti pas proses cetak bisa miring sendiri tulisannya". Memang bisa sedikit mengurangi rasa tertekan. Bagaimanapun sebagai orang yang bantu editing, memiliki beban berat juga.Â
Apalagi ketika ketika edit selesai terus dikirimi hasil kurasi yang ternyata dari file lama. Jadi panik juga. Alhamdulillah mendapat solusi. Dengan wanti-wanti ke Mbak Anis biar kuratornya yang nyoret-nyoret, tak sekadar seperti yang dishare, agar puisi berikutnya disesuaikan seperti pada contoh.Â
Dalam kesempatan ini saya pribadi memohon maaf kepada semua Kompasianer yang terlibat dalam proyek ini. Saya mungkin sering ngrepoti teman-teman. Nguyak-uyak untuk melengkapi ini-itu, mungkin terkesan tak sopan, mohon dimaafkan. Apalagi pengumpulan biodata dan foto.Â
Kalau yang sudah biasa berkomunikasi ya saya japri. Meski kadang ada rasa tak enak hati atau pekewuh. Mungkin sampai ada yang lupa karena kesibukan atau sebal. Heheh. Kalau tak mengirim foto, saya iseng mencari foto di akun FB. Maaf mas Zaldy ya. Juga  mas Rifan.Â
Ada keuntungan juga sih dari kerja sebagai tukang edit, saya jadi tahu lebih dulu wajah-wajah Kompasianer yang sejak awal tak menampakkan wajahnya. Seperti dulu ketika saya punya akun Cerita Ringan pun juga sering bertanya seperti apa penampakan saya. Yang jelas dulu saya penasaran dengan wajah mbak Ecy, pak Bryan, mas Syahrul, pak Santoso, dan beberapa nama lain. Foto-foto yang dikirim untuk kelengkapan biodata membuat saya senang duluan memandangnya. Heee...Â
Tak lupa saya sebagai bagian kecil dari proyek buku puisi berbalas ini mengucapkan terimakasih ke banyak pihak. Mbak EcyEcy, terimakasih kekompakannya ya. Mbak Anis, maaf saya sering minta bantuan kalau saya sungkan atau merasa minder untuk menghubungi beberapa penulis yang keren dan senior untuk meminta biodata dan foto. Padahal mbak Anis juga termasuk senior plus keren juga.Â
Mbak Niek, yang ternyata keluarganya ada yang tinggal dekat tempat tinggal saya. Makasih cerita-ceritanya ya. Mbak Aliz, mas Zaldy, mas Syahrul, pak Marakara, bu Nazar, bu Lilik, pak Bryan, pak Santoso, pak Jagat, mbak Ubus dan semuanya... terimakasih atas kesempatan untuk belajar bersama kalian.Â
Untuk pemuisi yang saya balas ---mbak Yosh, Â mas Syahrul, mas Rifan---mohon maaf jika kurang sempurna. Sedianya akan saya hapus, karena ragu "nyambung" atau tidak puisi itu. Yang bersangkutan cuma tanya, di salah satu puisi, yang saya lupa judulnya, "itu nggak dimaafin?". Sudah mau saya hapus. Dibilang "pas" alias nyambung meski mungkin aneh juga puisinya. Alah biarkan, itu kan puisi ala saya, ala Jora, begitu pikir saya.Â
Tuk sahabat, 26 Kompasianer, meski belum atau tak pernah bersua pun kita diberi kesempatan untuk bekerjasama, menjadi teman, saudara. Semoga tali silaturahim selalu terjaga. Penulisan buku ini mempererat persahabatan dunia maya. Alhamdulillah, dari hobi menulis ini, akhirnya bisa mengenal sahabat semua.Â
Semoga ini menjadi sebuah cerita untuk sahabat, bahwa kalian sudah menerima saya apa adanya. Jika berkesempatan ke Jogja, kabari saya dan monggo mampir ke gubuk kami. Salam dari Gunungkidul Handayani.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H