Lelaki itu bertanya sambil membuka helm dan maskernya. Dan OMG. Kulihat sosok yang memesonaku. Aku tak percaya dengan yang kulihat. Sampai akhirnya dia menghampiri dan menyalamiku dan menyebutkan namanya.Â
Aku bengong,takjub, deg-deg plas, seneng. Nano nano rasanya. Teman-teman kuliahku pasti takkan percaya kalau aku punya teman seperti lelaki itu. Mereka tahunya Putri tak punya teman lelaki.Â
Di kampus hanya seneng di perpustakaan dan jalan-jalan. Ada temen sekampus yang nembak aku, dengan mudahnya kusakiti dia. Eh... bukan. Maksudku kutolak dia.Â
Buru-buru aku menyambut tangannya yang mau menyalamiku. Dengan gugup kusebutkan namaku. Dia tersenyum kecil melihatku salah tingkah.Â
*
Aku menggelengkan kepalaku. Mengapa aku masih mengingat kejadian-kejadian masa kuliah dulu? Harusnya itu kubuang jauh. Perkenalan dengan ayah Husna memang begitu berkesan bagiku dan berhasil membuatku tersenyum.Â
Aku dan ayah Husna tak pernah mengenal kencan seperti yang lain. Namun pada akhirnya kami menikah juga. Karena restu tak juga kami peroleh, meski putriku sudah lahir, aku berpisah dengan suami dan juga putriku. Tanpa surat cerai. Pisah rumah bertahun-tahun. Bahkan sampai saat ini. Kenangan ini membuatku sakit, pedih dan hancur.Â
*
"Ibu... kok nggak dibalas WAku? "
Kutatap layar HPku. Putri cantikku sudah menunggu balasanku.Â
"Masih dua hari, Husna. Kamu baik-baik saja kan?"