Ujian hidupku menjadi lebih berat ketika ibu mertua mengajukan permintaan kepada suamiku. Ibu mertua menginginkan perpisahan kami setelah aku melahirkan. Dan permintaannya lagi aku harus melepas anakku. Aku tak boleh merawatnya. Ibu berpendapat bahwa anak cucunya tak boleh diurusi keluarga miskin sepertiku dan orangtuaku.Â
Permintaan itu disampaikan setelah bayi cantik itu kulahirkan. Tanpa ditemani suami. Ibu kandungkulah yang menemaniku berjuang untuk melahirkan.Â
Mendengar permintaan itu aku shock. Berpisah dengan suamiku, aku rela. Aku tahu suatu saat perceraian itu akan terjadi. Keluarganya tetap tidak akan menerimaku sebagai bagian dari keluarganya. Suamiku juga lelah dengan cap anak durhaka dari ibunya.Â
Namun jika aku harus dipisahkan dengan buah hatiku, aku tak akan ikhlas selamanya. Aku akan membesarkan anakku sendirian. Tak peduli bagaimana cara mencarikan nafkah untuk si kecilku.Â
Setelah melahirkan anak seharusnya hidupku diwarnai kebahagiaan. Namun kenyataannya tidak. Pedih dan hancur hatiku saat mengingat bagaimana aku dipisahkan secara paksa.Â
Ayah anakku juga tak bisa berbuat banyak. Dia hanya bisa menunda perpisahanku dan anakku. Dia berhasil meluluhkan hati ibunya agar si cantikku bisa mendapatkan ASI eksklusif.Â
**
Air mataku jatuh perlahan. Husna masih berada di hadapanku. Anak itu terkejut melihat bu gurunya menangis.Â
"Bu guru, kok jadi menangis?"
"Tak apa, Husna...", kuhapus air mataku. Aku mencoba tersenyum di hadapan murid baruku itu.Â
"Kamu segera ke mushola ya, Husna. Tuh temen-temenmu sudah di sana. Ambil wudlu dan masuk mushola ya. Tak boleh berisik. Nanti bu guru menyusul. Oke! "