Kemarin, 12 Juni 2019, terdapat dua agenda besar di sekolah kami. Pertama dilaksanakan pengumuman kelulusan di tingkat sekolah dasar, di samping itu di kabupaten kami dilaksanakan lomba keagamaan pelajar umum. Oleh karenanya tak ada salahnya saya menuliskan tentang mujahid-mujahid dari sekolah kami yang berjuang untuk mengikuti lomba keagamaan, MTQ pelajar umum di tingkat kabupaten.Â
Sungguh pelaksanaan lomba ---memang termasuk mepet waktu liburan lebaran--- membuat kalang kabut. Persiapan tidak bisa semaksimal biasanya karena terbentur juga dengan pelaksanaan PAT dan UKK. Begitu PAT dan UKK berakhir, tanggal 29 Mei seharusnya para siswa menikmati liburan, bercengkrama bersama keluarga. Guru pun harus mengoreksi hasil PAT dan UKK, dan segera menyusun laporan hasil belajar. Namun malah terbebani untuk menyiapkan lomba tersebut.Â
Lomba yang sebenarnya ---sangat positif untuk pembentukan karakter siswa--- akhirnya sedikit terkendala. Apalagi para siswa sekolah kami ada yang berasal dari sebuah pondok pesantren. Para santri tersebut berasal dari wilayah Jawa Tengah dan Jakarta. Jadi begitu liburan mereka bersukacita akan segera pulang ke tempat kelahirannya. Â Bahkan jauh hari, masih dalam proses pembelajaran, mereka sering menanyakan kapan liburannya. Sampai kami ---para guru---sering geleng-geleng kepala.Â
Sayangnya, di tengah kebahagiaan akan liburan lebaran tersebut dua siswa yang berasal dari pondok pesantren menunda kepulangannya. Mereka bersama tujuh siswa lain yang berasal dari sekitar sekolah harus mengikuti lomba di tingkat kecamatan, tanggal 1 Juni 2019.
Saya tahu dan paham bagaimana perasaan mereka. Kerinduan terhadap rumah mereka sudah begitu menggunung. Alhamdulillah meski menyandang kerinduan dan terbatasnya latihan, dari sekolah bisa mewakilkan 3 cabang lomba. Singkat cerita siswa dari pondok pulang kampung dengan janji akan kembali lagi pada 10 Juni.Â
Sebelumnya siswa dilatih dengan pembina yang sudah ditunjuk. Saya menilai dari semua cabang perlombaan, yang sulit adalah MTQ. Tak semua siswa mau dilatih qiroah. Kata orang butuh bakat untuk cabang lomba ini.Â
Dengan tingkat kesulitan yang lumayan ternyata maqro' yang harus dibaca selalu berubah tiap tahunnya. Kadang harus dadakan juga melatihnya. Alhamdulillah meski dengan perjuangan luar biasa, siswa lebih mudah latihan.
**
Di balik kisah itu, kami ---guru dan pengelola pondok --- sudah was-was jika siswa mendapatkan juara 1 cabang lomba hafalan surat pendek. Itu berawal dari cerita pengelola pondok, "Kalau Bxxs juara 1, saya khawatir dia bisa ikut lomba ke kabupaten atau tidak", cerita pengelola pondok itu.Â
Kami---guru yang kebetulan mendampingi lomba---juga khawatir. Setelah pengumuman kejuaraan ternyata memang siswa andalan kami dari pondok memang juara 1. Bahagia sekaligus khawatir.Â
Kami wanti-wanti kepada Bxxs yang mudik ke Jakarta untuk sampai pondok sebelum tanggal 12 karena tanggal 12 Juni merupakan pelaksanaan lomba di tingkat kabupaten. Anak itu mengiyakan.Â
Pihak pondok juga sering berkomunikasi dengan orangtua Bxxs. Saya pun memastikan kesiapan anak-anak untuk lomba tersebut. Saya berkomunikasi dengan pengelola pondok. Dari keterangan mereka, anak tersebut siap dan akan sampai pondok hari Senin, 10 Juni.Â
Ternyata sampai hari Selasa belum ada kepastian. Dan mendadak ada kabar dari seorang guru. Dia mengabarkan bahwa Bagus tidak bisa ikut lomba. Screenshot percakapan dengan pengelola pondok dikirimkan ke WAG sekolah.Â
Terjadilah kepanikan para guru. Akhirnya Kepala Sekolah menghubungi orangtua untuk memastikan kebenaran kabar tersebut. Dan benar, orang tua Bagus tak bisa mengantarkan si anak ke pondok.
Dengan kesepakatan dan berat hati, saya langsung menghubungi panitia lomba. Sampai pukul 11.00 kami berkoordinasi dengan panitia, termasuk seragam, uang transport, uang pembinaan dan pendamping kami komunikasikan. Peserta yang mewakili adalah peraih juara 2. Prinsipnya wakil kafilah kecamatan tidak boleh kosong.Â
**
Menyikapi ketidakhadiran siswa dalam lomba
Pada hari H pelaksanaan lomba ada rasa sayang ---tepatnya menyayangkan--- karena salah satu siswa tak bisa ikut lomba. Di sisi lain saya bersama koordinator dan pendamping lain juga tak bisa memaksakan kehendak dan menyalahkan anak tersebut. Hal ini karena waktu lomba yang terkesan mendadak dan waktu libur lebaran. Seharusnya mereka masuk sekolah tanggal 17 Juni.Â
Ya apapun hasil lomba kali ini, yang jelas kami mengapresiasi semua peserta yang telah berjuang untuk membawa nama baik sekolah dan kecamatan. Kedepannya harapan kami perlombaan bisa dipilihkan pada waktu yang tepat. Harapannya dari lomba ini, semoga bisa menjadi generasi bangsa yang religius, nasionalis, dan membawa kemajuan bangsa ketika mereka menerima estafet kepemimpinan di negeri ini.Â
Terima kasih untuk yang memberi ide tulisan ini.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H