Nafasku terasa berat ketika mengingatnya. Airmata kutahan agar tak jatuh. Aku tak ingin melihat kedua orangtuaku sedih. Mereka juga tak tahu menahu hubunganku dengan Tio. Aku belum pernah menceritakan kepada orangtuaku. Prinsipku kalau sudah jelas akan sebuah hubungan aku belum mau memperkenalkan ke orangtuaku. Begitu juga Tio. Aku belum pernah diajak untuk berkenalan dengan orangtuanya.
"Kalau sudah lulus, aku bawa kau ke rumah. Terus aku bilang ibu kalau aku mau melamarmu. Nggak usah lama-lama menentukan hari pernikahannya. Sebulan atau dua bulan langsung kita menikah...", begitu ucapnya dulu.
Impian itu tak terwujud. Manusia punya keinginan, Allah yang Maha Menentukan. Kini semua tinggal menjadi kenangan. Mungkin saja ku tak bisa lupakan itu.Â
"Oh iya, ndhuk. Tadi ada yang nyari kamu. Ibu lupa namanya..."
"Ada yang nyari, bu?", tanyaku meyakinkan. Ibu mengangguk.Â
"Tadi mau WA kamu katanya. Kamu juga kelamaan. Kasihan dia nunggu lama...", terang ibu setengah protes. Ya aku sadar aku terlalu lama di kampus. Jadi aku diam. Tak mungkin aku membela diri.Â
***
Di kamar. Aku membersihkan sisa make up yang hampir seharian menutupi mukaku. Rasanya sudah risih. Saking tak terbiasa dengan aneka perlengkapan berhias yang disukai perempuan itu. Terlalu ribet menurutku.Â
Setelah wajahku bebas dari lukisan, aku mengambil HP. Dari tadi aku tak pegang HP. Untuk urusan dokumentasi foto nanti pasti dikirimi sama Wahyudi. Dia dengan suka rela menjadi fotograferku seharian ini.Â
Segera aku mengecek pesan yang masuk. Aku penasaran dengan cerita ibu tadi. Siapa yang datang ke sini? Rasanya kalau Tio juga tak mungkin. Ahhh... astagfirullah. Mengapa nama itu masih melekat di ingatanku?Â
Satu persatu pesan yang masuk kubalas. Belum juga ada yang mengaku ke sini. Ya sudahlah. Lebih baik aku mandi dulu. Biar badanku segar.Â