Semenjak Pak Widi kembali mengungkapkan keinginannya yang terpendam dulu, aku menjadi sedikit ragu. Bisa jadi orang akan menilai negatif jika mengetahui keraguanku. Di satu sisi aku mencintai Tio tapi di sisi lain aku mengagumi keteguhan hati Pak Widi untuk tetap menjadikanku sebagai pendamping hidupnya.Â
Ah... di saat aku mau ujian skripsi malah mikir hal tak penting. Untuk menceritakan kegalauanku kepada orang lain juga tak mungkin. Aku pasti akan disalahkan atas perasaanku sendiri. Aku sendiri yang membuka peluang untuk dua nama itu. Jadi lebih baik aku pendam sendiri.Â
Ku raih gawaiku yang sedari pagi hingga sore ini tak kusentuh dan kubuka. Banyak pesan yang masuk. Aku prioritaskan pada pesan Tio. Dia ingin bertemu denganku esok hari.Â
Aku merasa heran. Seminggu yang lalu dia bilang sangat repot di kampungnya. Jadi tak bisa ke kampus beberapa hari ini. Apalagi untuk mengunjungiku. Sekadar pesan pun belum tentu dia kirimkan setiap hari.Â
Aku berpikir positif dengan dia. Aku tahu dia setia dan malah sering cemburu kalau ada teman yang kirim pesan padaku. Dia, teman bertengkarku, teman bercandaku. Ah... kurasa aku sudah bisa menjawab keraguan yang menghinggapi hatiku beberapa hari ini.Â
Tak menerima kabar darinya saja sudah kelimpungan. Mau kirim pesan terlebih dahulu tapi kuurungkan. Aku yakin dia akan mengolok-olokku. Pasti dia menggodaku habis-habisan. Dengan menerima pesannya kali ini terobati sudah kangenku. Aku tersenyum mengenang masa kecil sampai bertemunya kembali di kampus.Â
***
Kulihat wajah yang selalu kurindukan murung. Tak seperti biasa. Wajah ceria dan keusilannya menghilang. Aku menjadi risau melihatnya. Sungguh, terbiasa melihatnya dengan wajah ceria dan menyenangkan, namun kini wajah kusut yang kutemui.Â
Entah ada apa dengannya. Entah apa yang dipikirkannya. Atau jangan-jangan dia berpikir buruk akan aku. Ahh... aku tak bisa memulai perbincangan dengannya. Kami sibuk dengan pikiran kami masing-masing.Â
Rasanya ingin kutanyakan apa kesalahan yang telah kuperbuat hingga dia begitu dingin. Lebih baik dia mengolok-olokku langsung daripada terdiam seperti patung.Â
"Ra, maafkan aku. Aku tak bisa menemanimu di ujian skripsimu. Juga wisudamu...", ucapnya terbata- bata. Aku tahu dan ingat kalau dia memang sudah bicara mengenai kemungkinan tak bisa datang di hari ujianku. Tetapi untuk ketidak hadirannya di wisudaku nanti baru aku dengar kali ini.Â