Pemerintah menggelar kompetisi eSport terbesar untuk pertama kalinya yang dinamakan Piala Presiden e-Sports 2019. Kompetisi ini terselenggara melalui kerja sama antara Kementerian Kominfo, Kementerian Pemuda dan Olahraga, Kantor Staf Presiden, Badan Ekonomi Kreatif, serta IESPL.
Mobile Legend jadi game yang dipilih oleh pemerintah di Piala Presiden e-Sports 2019 karena populer di kalangan masyarakat. Ajang ini dilaksanakan untuk mencari bakat gamers yang nantinya bisa berkompetisi di kompetisi kelas dunia. Bahkan berkait dengan eSport pemerintah berupaya membangun akses internet cepat di seluruh Indonesia agar eSports bisa berkembang dan menghasilkan atlet yang berprestasi.
Berkembang pula usulan agar eSport dimasukkan dalam kurikulum. Belum jelas apakah itu hanya wacana atau benar-benar direalisasikan. Yang jelas kompetisi yang diselenggarakan oleh pemerintah itu mengundang pro kontra.Â
Dunia pendidikan belum begitu maksimal hasilnya. Banyak permasalahan mendasar yang belum terselesaikan. Tenaga guru honorer yang masih harap -harap cemas akan nasibnya, ranking mutu pendidikan yang tidak bagus di dunia internasional sehingga bu Sri Mulyani menilai dan mempertanyakan mutu guru.Â
Mutu pendidikan bisa mencapai kualitas tinggi tak hanya ditentukan oleh guru. Bisa dibayangkan guru hanya bertatap muka dengan siswa dalam seminggu selama kurang lebih 37,5 jam. Sedangkan waktu lainnya di rumah.Â
Kualitas pendidikan jangan hanya dibebankan pada sekolah, Â dalam hal ini guru. Ada tri pusat pendidikan yang harus saling bekerja sama untuk mewujudkan kesuksesan dan mutu pendidikan. Sungguh kami sebagai pendidik terus terang prihatin ketika mutu guru dianggap hal pokok yang menunjang ranking di dunia internasional.Â
Orangtua, masyarakat, pemangku pendidikan dan bahkan pemerintah juga turut menyumbangkan berhasil tidaknya atau maju tidaknya pendidikan di Indonesia. Pengajar tentu senang hati dikritik oleh para pejabat, orangtua siswa dan pemangku pendidikan. Tetapi terkadang mereka hanya menyalahkan guru dan sekolah.
Bagaimana pemerintah sendiri dalam menyikapi kurang mutunya pendidikan? Mengapa pemerintah malah membuat kompetisi yang bisa membuat kemunduran pendidikan?Â
Kami sebagai pengajar di SD tahu persis bagaimana sulitnya menanamkan budaya literasi. Membaca hanya dilakukan oleh siswa ketika di sekolah. Orangtua di rumah kadang sudah pusing duluan untuk mendampingi belajar putra-putrinya.Â
Dalam gerakan literasi di sekolah ketika kami menanyakan isi tulisan atau bukunya mereka hanya diam. Kurang paham. Menulis pun ogah-ogahan. Kesabaran tingkat tinggi harus kami lakukan.
Di tengah pusingnya menghadapi siswa yang seperti itu, kami malah mendengar ada kompetisi yang cukup aneh itu. Sejauh ini para siswa memang belum mengetahui kompetisi ini. Akan tetapi bukan berarti mereka tidak akan mengetahui selamanya. Kami, pengajar, sangat khawatir kalau daya membaca mereka tidak diasah terus. Kami takut kalau mereka tak mau belajar dengan tekun karena kelak dewasa mereka bisa menjadi gamers.