Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Maafkan Aku, Bu Husna

1 Januari 2019   09:21 Diperbarui: 1 Januari 2019   09:51 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Namaku Edo. Saat ini aku kelas VII. Aku senang sekali bisa lulus SD meski nilaiku tak begitu bagus. Aku berjanji di SMP ini aku akan menjadi lebih baik. Aku akan rajin belajar, biar bisa membahagiakan orangtuaku.

Orangtuaku adalah petani. Sedari subuh mereka bangun tidur, shalat subuh dan bersiap-siap ke sawah. Tak lupa sarapan selalu disediakan simbokku. 

Kami hidup prihatin. Yang penting bisa makan meski dengan lauk garam. Bapak simbokku selalu mengajariku untuk bersyukur. Tak lupa nasehat dari mereka agar aku rajin belajar biar kelak dewasa aku menjadi orang sukses dan bisa mengangkat derajat orangtua. 

Selepas shalat subuh aku belajar sebentar. Dulu pas SD boro-boro belajar. Bangun subuh pun sulit banget. Tapi aku dinasehati guru agamaku, Pak Yadi, kalau pingin sukses maka aku harus perbaiki shalatku dulu dan belajar. Pak Yadi bilang juga kalau ingin lancar belajar maka lakukan setelah subuhan. 

Aku adalah anak yang ceplas-ceplos tapi memiliki rasa penasaran tinggi, usil juga. Aku mempraktekkan nasehat beliau. Meski capaian nilaiku tak terlalu bagus tapi ketika ulangan IPA kemarin sudah sesuai KKM. Aku jadi lebih semangat belajar. 

Tetapi kala pelajaran aku usil juga. Bercanda dengan teman. Ketika itu pelajaran IPS. Guru yang mengajar sangat cantik, bu Husna. Mengajarnya pun santai tapi aku memahami materi pelajarannya. Tetapi kalau materinya sejarah aku bingung. Hehehe... 

Nah di tengah-tengah pelajaran, aku yang gojek atau bercanda dengan teman sebangkuku, aku tanpa sengaja mengacungkan jari tengah ke arah bu guru. Aku langsung ditegur sama bu Husna. 

"Kenapa kamu mengacungkan jari tengahmu,  Do?", tanya bu Husna. Aku hanya tersenyum tapi merasa takut juga. Pasti ada yang salah dengan yang kulakukan tadi. Ah.. Aku hanya meniru teman -temanku. 

Sekian waktu aku tak menjawab pertanyaan bu Husna. 

"Coba ini PR untukmu, Do. Coba kamu cari tahu maksud kalau kamu mengacungkan jari tengah seperti itu. Jangan-jangan  kamu tak tahu maksudnya".

Aku jadi merasa bersalah meski aku sebenarnya tak mengetahui maksud kelakuanku tadi. Aku jadi tak bisa konsentrasi. Bahkan ketika pulang pun aku masih memikirkan maksud kelakuanku tadi apa. Aku bingung mau tanya ke siapa. Aku harus bisa menjawab PR dari bu Husna. Minggu depan beliau mau menanyakan padaku. 

***

Hari Minggu tiba. Kakakku yang menjadi mahasiswa di perguruan tinggi di Yogyakarta pulang. Biasanya dari Senin sampai Sabtu dia berada di kos. 

"Mbak, temen-temanku kok sering niru ngacungi jari tengah. Maksudnya apa toh, mbak?"

Mbak Intan, kakakku, mengernyitkan dahinya. Dari mulutnya keluar pertanyaan, "Ada apa,dik? Kok tiba-tiba kamu tanya itu?"

Aku jadi bingung sendiri jawabnya.

"Ya pingin tahu saja. Penasaran, mbak", ucapku sedikit berbohong. 

Mbak Intan segera mengambil HPnya lalu menyerahkan kepadaku. 

" Coba ini kamu baca sendiri ya. Yang jelas kamu tak boleh niru-niru temanmu kalau tak paham artinya. Oke!"

Kuterima HP kakakku itu. Rupanya mbak Intan tadi browsing arti dari bahasa tubuh yang kulakukan kemarin. Kubaca pelan-pelan artinya. Aku kaget bukan kepalang. Ternyata artinya seperti itu. Ah... aku jadi merasa berdosa sama bu Husna yang cantik itu. Kenapa aku berbuat bodoh seperti kemarin? 

Besok pagi aku akan minta maaf pada beliau. Takkan kuulangi perbuatan seperti itu lagi. Beliau sudah mendidik kami,  jasanya sungguh besar, tak pantas bila diperlakukan buruk. Sungguh ini pelajaran berharga untukku dan akan kuingat sepanjang hayatku. 

"Maafkan aku,  bu Husna. Aku tak akan ulangi lagi. Aku akan lebih hati-hati ketika melihat kode-kode lainnya", aku mencoba merangkai kalimat yang akan kuucapkan untuk bu Husna. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun