"Iya, pak. Kami tahu. Kami tidak pernah cerita ke ibu kok..."
Akhirnya kami diizinkan masuk kelas lagi.
***
Kembali ke kegiatan pembelajaran di kelas. Meski berbeda agama, kami saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Malah temanku yang Kristen terkadang mengucapkan istilah yang biasa umat Islam gunakan, seperti Astaghfirullah. Pernah guru kami mengingatkan kepada teman kami itu.
"Kalau kamu ya jangan pakai istilah itu. Kamu pakai kata astaga saja...", Kata pak guru waktu itu.
Tiga tahun bersosial dan berkomunikasi dengan siswa yang berbeda agama tak ada permasalahan luar biasa. Kalau bertengkar sih sudah biasa. Sehari kemudian rukun lagi. Yang menjadi masalah pertengkaran pun bukan masalah agama. Bukan.
Di tahun ketiga duduk di bangku SMP ada seorang teman putri non muslim yang memutuskan untuk menjadi mualaf. Aku tak tahu persis mengapa dia melakukan itu. Dia juga tak pernah bercerita tentang keinginan itu sebelumnya. Pada saat ujian praktek Pendidikan Agama pun dia sudah ikut praktek shalat. Untuk teman-teman muslim lain praktek shalat subuh, sedang aku dan kembaranku diminta praktek shalat jenazah.
"Kamu anaknya guru agama, pasti sudah bisa. Sekarang praktek shalat jenazah saja ya, ndhuk", perintah pak Yadi, guru Agama Islam waktu itu. Ya sudah. Kami manut dengan perintah beliau. Mungkin kami memang dianggap lebih bisa.
Oh iya. Untuk kabar temanku yang dulu mualaf, saat ini sudah kembali ke keyakinan awalnya. Dia kembali memeluk agama Kristen. Dan mengenai alasannya aku kurang paham. Aku tak mempertanyakan kepadanya. Itu bukan menjadi wilayah yang harus kucampuri. Beragama adalah hak setiap orang. Dia berhak memilih agama yang diyakininya. Lakum diinukum waliyadiin, bagiku agamaku, bagimu agamamu.
Sampai saat ini kami pun masih berkomunikasi, baik lewat grup WA alumni maupun chat pribadi. Saling menanyakan kabar dan diskusi tentang pelajaran anaknya yang sekarang sudah berbeda dengan materi pelajaran waktu ibunya sekolah dulu.
Ketika ada isu SARA, penistaan agama dan sebagainya tak pernah kami bahas. Itu hanya akan merusak persahabatan. Rasulullah sendiri juga sangat menghormati pamannya yang bukan Islam, mengapa kita tidak?