"Dik Sinta geser ke sana aja. Biar aman. Nggak terganggu orang yang lalu lalang..." Aku duduk di kursi sebelah dalam yang tadinya buat duduk Fahri.
Aku segera membuka bungkusan nasi dari Fahri. Aku makan sesuap demi sesuap nasi itu. Ku lihat Fahri mengobrol dengan penumpang lain. Entah dia sudah makan atau belum. Ku tahu uang di dompetnya harus dihemat biar bisa pulang lagi ke kampung.
"Mas... Mas sudah makan?", Aku mencolek lengannya. Dia mengangguk.
"Pasti mas belum makan kan?"
"Sudah kok, dik. Kenapa? Nggak enak ya nasi bungkusnya?"
Aku menggeleng.
"Mas pasti belum makan. Sinta suapi ya..."
Dia bersikeras tak mau. Aku tahu selama ini aku keterlaluan. Aku minta cerai segala. Dia pasti sudah menyerah untuk memperjuangkan dan mempertahankanku.Buktinya dia bersedia mengantar aku pulang.
Akhirnya nasi bungkus itu aku habiskan. Aku mulai belajar menghargai Fahri. Meski itu mungkin terlambat.
Kusimpan HP di tas. Aku merasa kosong melihat aneka aplikasi di HP. Biasanya aku begitu menikmati game atau aplikasi sosmed. Aku pusing dan lelah. Kusandarkan kepalaku ke lengan Fahri. Kurasakan nyaman bersamanya.
***
"Dik, bangun. Aku mau turun dulu.", Fahri membangunkan aku. Ku kucek mataku yang masih pedas.
"Aku mau shalat Subuh dulu. Tasku bisa dik Sinta gunakan untuk bantal...", Ucapnya.