Hidup di Indonesia dengan segala keragaman yang ada membuat kita bangga. Kekayaan alam dan budaya melimpah di sini. Hal tersebut patut kita syukuri, termasuk keragaman agama.
Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, selalu diajari untuk menghormati pemeluk agama lain. Hidup rukun, tata titi tentrem selama berpuluh-puluh tahun. Perbedaan agama tak menggoyahkan tekad para pemuda dan pemimpin negeri untuk memperjuangkan kemerdekaan dan mempertahankannya.
Perumusan Piagam Jakarta dengan sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknya. Rumusan tersebut akhirnya diubah dengan dihilangkannya tujuh kata yang dianggap bisa menumbuhkan bibit perpecahan. Jadilah sila pertama seperti yang kita kenal saat ini.
Indahnya toleransi beragama memang sempat mendapat ujian. Muncul isu penistaan agama dari video Ahok.
Dari peristiwa sejarah di masa lalu yang namanya masalah agama memang sangat sensitif. Berbicara tentang ajaran agama apalagi agama yang bukan kita anut haruslah hati-hati. Pemahaman terhadap ajaran agama bagi pemeluk agama Islam akan berbeda dengan pemeluk agama lainnya.
Saya jadi ingat, dulu saya pernah diwelingi (diberi pesan) guru saya, yang namanya bertoleransi dengan umat beragama yang beda itu bukan berarti ikut peribadatan mereka, bukan mencampuri ajaran agama lain karena tak akan ketemu.Â
Guru saya kebetulan beragama Kristen. Beliau mengajarkan kepada kami seperti itu. Lama sekali. Jauh sebelum ada isu penistaan agama. Tahun 1990an, saya masih SLTP waktu itu.
Berbekal didikan orangtua dan welingan (pesan) guru saya, akhirnya itu membentuk pola pikir saya. Apalagi selama tiga tahun saya di kelas A yang siswanya beragama Islam dan Kristen. Sama sekali tak ada masalah bagi kami. Toleransi benar-benar nyata kami laksanakan.
Kemudian berkaitan dengan perayaan Natal, untuk umat Islam sendiri memiliki cara pandang yang berbeda. Ada yang memperbolehkan mengucapkan selamat pada perayaan tersebut. Ada juga yang melarang. Memang masing- masing punya dalil sendiri yang memperkuat pandangan mereka.
Saya sendiri akan menghormati kedua pandangan tersebut. Melihat dan membaca dalil kemudian dalam mengambil sikap untuk memberikan ucapan selamat atau tidak itu tergantung pada individu.Â
Tak perlu diperdebatkan dan saling mencela. Bila saling menghormati dan menghargai saja bisa menentramkan hati, mengapa tidak kita lakukan?
Yang jelas prinsip Lakum diinukum waliyadiin, bagiku agamaku bagimu agamamu harus terpatri bagi umat beragama di seluruh dunia. Kita tak bisa memaksa pemikiran, pandangan yang berbeda.Â
Biarlah pemeluk agama menjalankan ajaran agama sesuai ajaran dalam kitab sucinya. Tak usah mencampuri urusan ajaran agama lain karena sangat sensitif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H