Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perdebatan tentang Hukum Mengucapkan Selamat Hari Natal

9 Desember 2018   10:51 Diperbarui: 9 Desember 2018   11:36 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hidup di Indonesia dengan segala keragaman yang ada membuat kita bangga. Kekayaan alam dan budaya melimpah di sini. Hal tersebut patut kita syukuri, termasuk keragaman agama.

Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, selalu diajari untuk menghormati pemeluk agama lain. Hidup rukun, tata titi tentrem selama berpuluh-puluh tahun. Perbedaan agama tak menggoyahkan tekad para pemuda dan pemimpin negeri untuk memperjuangkan kemerdekaan dan mempertahankannya.

Perumusan Piagam Jakarta dengan sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknya. Rumusan tersebut akhirnya diubah dengan dihilangkannya tujuh kata yang dianggap bisa menumbuhkan bibit perpecahan. Jadilah sila pertama seperti yang kita kenal saat ini.

Indahnya toleransi beragama memang sempat mendapat ujian. Muncul isu penistaan agama dari video Ahok.

Dari peristiwa sejarah di masa lalu yang namanya masalah agama memang sangat sensitif. Berbicara tentang ajaran agama apalagi agama yang bukan kita anut haruslah hati-hati. Pemahaman terhadap ajaran agama bagi pemeluk agama Islam akan berbeda dengan pemeluk agama lainnya.

Saya jadi ingat, dulu saya pernah diwelingi (diberi pesan) guru saya, yang namanya bertoleransi dengan umat beragama yang beda itu bukan berarti ikut peribadatan mereka, bukan mencampuri ajaran agama lain karena tak akan ketemu. 

Guru saya kebetulan beragama Kristen. Beliau mengajarkan kepada kami seperti itu. Lama sekali. Jauh sebelum ada isu penistaan agama. Tahun 1990an, saya masih SLTP waktu itu.

Berbekal didikan orangtua dan welingan (pesan) guru saya, akhirnya itu membentuk pola pikir saya. Apalagi selama tiga tahun saya di kelas A yang siswanya beragama Islam dan Kristen. Sama sekali tak ada masalah bagi kami. Toleransi benar-benar nyata kami laksanakan.

Kemudian berkaitan dengan perayaan Natal, untuk umat Islam sendiri memiliki cara pandang yang berbeda. Ada yang memperbolehkan mengucapkan selamat pada perayaan tersebut. Ada juga yang melarang. Memang masing- masing punya dalil sendiri yang memperkuat pandangan mereka.

Saya sendiri akan menghormati kedua pandangan tersebut. Melihat dan membaca dalil kemudian dalam mengambil sikap untuk memberikan ucapan selamat atau tidak itu tergantung pada individu. 

Tak perlu diperdebatkan dan saling mencela. Bila saling menghormati dan menghargai saja bisa menentramkan hati, mengapa tidak kita lakukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun