Kakak-kakak menjelaskan lebih banyak via telepon dan internet. Mereka sudah kuliah atau bekerja di luar kota. mereka meminta agar aku tidak membahasnya dengan Papa Mama. Hanya akan menyinggung luka lama, kata mereka.
Aku menangis. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku menangis sendiri, menyadari betapa tololnya diriku tak bisa mengerti semua itu sebelumnya.
Apakah Chiki itu sebenarnya? Apakah benar-benar makanan sisa hanya karena yang lain sudah hampir habis? Apakah itu hanya untuk membuatku tetap tertawa? Oh... andai aku bisa menangis bersama Papa dan kakak saat itu. Namun, aku juga tak mungkin menangis keras. Mungkin itu tangisan terakhir, yang akan membuat orang menyadari keberadaan kami, dan membuat keturunan keluarga kami habis.
Yang aku tahu, Chiki itu membungkus masa kecilku dalam kesenangan. Seperti sebungkus Chiki, di dalamnya masa kecilku tetap terbungkus rapi dan utuh, ketika di luar penuh riuh oleh tragedi Mei '98.
***
Sekarang aku sudah bekerja. Aku makan nasi bersama Chiki, kali ini dengan lauk pauk yang lengkap. Rasanya tetap enak. Aku memakannya sambil melihat TV. Spanduk-spanduk mengutuk keturunan Cina mulai bermunculan. Tak tahu apakah masa itu akan terulang lagi. Ada kecemasan.
Di samping itu, wajah-wajah keturunan Cina muncul di layar kaca. Atlet-atlet pembawa juara dunia. Pebisnis berhati mulia dengan segala sedekahnya. Pejabat yang berani memberantas korupsi. Wajahnya seperti kami. Matanya seperti kami.
Ada harapan. Ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H