Yang mana yang Anda lebih senang dengar? A atau B?
A: setengah mati
B: setengah hidup
***
A: setengah jelek
B: setengah ganteng
***
A: setengah gila
B: setengah waras
***
Jika Anda lebih menyukai A, bisa jadi Anda orang pesimis. Sebaliknya, jika B, Anda pasti orang optimis.
Mengapa demikian? Menurut kata-kata motivator, hal ini adalah persoalan perspektif. Misalnya, ketika melihat gelas yang berisi air hanya setengahnya, orang optimis akan menjawab "setengah terisi" sedangkan yang pesimis akan menjawab "setengah kosong". Dengan konsep ini, para motivator menjanjikan perubahan hidup dengan perubahan perspetif saja. Jadilah ajaran "perspektif" atau lebih suka saya sebut ajaran "setengah-setengah"
Ajaran "setengah-setengah" sah-sah saja jika ditempatkan dalam pembentukan karakter, di mana relativitas dan fleksibilitas sangat lumrah. Namun, ada beberapa hal yang seharusnya absolut dan punya kedudukan yang jelas malah direlatifkan melalui ajaran "setengah-setengah" ini.
Contohnya, dalam menilai moral dan agama. Jika seorang pemimpin negara memeluk agama yang mengajarkan keadilan dan kejujuran, tapi perbuatannya penuh dengan korupsi, ada orang yang beranggapan: gak apa-apa lah curang sedikit, kan saling memaafkan. Setengah bersih setengah jujur gak apa-apa lah, toh manusia tidak sempurna.
Contoh lain, dalam ilmu pengetahuan. Apa yang terjadi dengan makanan jatuh di lantai? Tentunya akan menjadi kotor karena dipenuhi kuman dan bakteri. Namun, ada anggapan "kalau belum 5 menit gak apa-apa, masih bersih", jadinya tetap dimakan juga. Dari mana anggapan ini muncul? Ya, karena ajaran "setengah-setengah".
Saya jadi menduga, apakah bangsa Indonesia itu susah maju karena ajaran "setengah-setengah" ini? Proyek bermasalah? Tenang... kan sudah setengah jadi. Hukum tumpul ke atas tajam ke bawah? Gak apa-apa, kan udah setengah jalan.
Tentu saja ajaran "setengah-setengah" ini tidak sepenuhnya jahat. Ajaran ini bisa memicu kreativitas, misalnya dalam dunia kuliner: kita bisa memasak telur matang atau setengah matang, membuat teh manis dengan takaran gula satu cangkir atau setengah cangkir, dan hal-hal lain yang tidak memicu permasalahan moral dan hal lain yang absolut. Walau begitu, relativitas dunia kuliner masih patut dipertanyakan, sebab dalam sejarah Indonesia pernah terjadi [link] pertumpahan darah akibat perbedaan cara penyajian bubur ayam [link].
Menurut pembaca, apakah artikel ini setengah benar atau setengah salah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H