Oleh : Jonny Ricardo Kocu*
Artikel ini merupakan ulasan singkat tentang buku TERASING DI TANAH SENDIRI ( Home and Exile) karya Chinua Achebe (bapak sastra modern Afrika), yang saya coba merelevansikan dalam konteks (orang) Papua di Indonesia. Kita akan melihat peran penting dalam menulis (karya tulis) sebagai resistensi atas kolonialisme di Afrika. Sehingga, menjadi pelajaran penting bagi orang Papua.
" Bahwa kampung halaman saya sedang diserang, dan bahwa tempat saya pulang bukan sekedar rumah dan kota, melainkan lebih dari itu, sebuah kisah yang mengunggah - Hal.36
" Seseorang telah datang dan merebut tanah yang saya miliki. Kita tidak akan berharap bahwa ini dilakukan karena kerakusannya, atau karena ia lebih kuat dari saya. Pengakuan semacam itu akan melabeli dirinya sebagai penjahat dan bajingan. Jadi, ia pun menyewa tukang cerita berimajinasi tinggi, untuk mengarang sebuah cerita yang pantas didengar, yang mengatakan bahwa tahan tersebut bukan milik saya -Hal.54
Dua kutipan di atas, mengawali tulisan ini, sekaligus memberi gambaran tentang judul buku " Terasing di Tanah Sendiri " bagaimana kolonialisasi berjalan, dan ditopang oleh cerita (penulis dan karya tulisnya), baik kisah cerita di Afrika, maupun di dunia ketiga pada umumnya. Sehingga, dalam resensi buku Home and Exile " Terasing di Tanah Sendiri " , saya akan mengawali dengan pembahasan soal karya tulis dan (de)kolonialisasi pengetahuan, sebagai jalan masuk atau pengantar resensi buku.
Karya Tulis, dan (de)Kolonialisasi Pengetahuan
Kalau meminjam gagasan Michel Foucault " Pengetahuan adalah kekuasaan dan sebaliknya'' maka peran pengetahuan sangatlah penting dalam bekerjanya kekuasaan, termasuk kekuasaan dalam wujud kolonialisme. Hal ini disadari oleh Chinua Achebe, dalam karyanya Home and Exile (2000), ia menunjukan bahwa kolonialisme Eropa di tanah Afrika, didukung oleh pengetahuan (penulis, dan cerita yang dituliskan). Contoh penulis Inggris, Joyce Cary dengan Karya Mister Johnson (1939), karya yang juga diadaptasi menjadi film drama Amerika yang dirilis pada tahun 1990. Karya Cary secara langsung menunjukan bahwa, budaya dan masyarakat Afrika itu rendah, dengan segala sterotip dan kebencian: Orang Afrika lebih rendah dibanding orang Eropa dalam segala aspek kehidupan.
Karya Cary adalah salah satu contoh, dari banyaknya contoh karya (pengetahuan), bagaimana pengetahuan (penulis dan karya) mendukung agenda kolonialisasi. Sehingga, kolonialisasi bekerja atas basis-basis pengetahuan yang ada. Namun, sebenarnya, kolonialisasi (kekuasaan) dan pengetahuan (penulis dan karya), menjalani hubungan timbal balik.Â
Tradisi Kolonialisme memproduksi penulis (manusia) dengan pandangan kolonialis, dan penulis menghasilkan karya  yang mendukung "Pembenaran" agenda kolonialisasi. Akan tetapi, kesadaran kaum tertindas melahirkan " Resistensi " dalam upaya, dekolonialisasi melalui pengetahuan (penulis dan karyanya). Chinua Ahebe melakukan ini dalam karyanya Home and Exile, atau jauh sebelum itu karya utamanya Things Fall Apart (1958), dalam upaya kritik " Resistensi "  terhadap karya Joyce Cary (Mister Johnsos, 1939).
Baca juga : Melihat Misteri Hidup Papua Lebih Dekat Melalui Buku
Hal ini mengingatkan saya dengan Dr. Benny Giay dalam karya Zakeus Pakage dan Komunitasnya (walau bukan karya sastra, seperti Achebe). Namun upaya (metodologi) yang digunakan oleh Giyai, adalah upaya dekolonialisasi pengetahuan ogai " orang asing '' atau bangsa kolonialis terhadap orang Mee (Papua). Juga, karya-karya I Ngurah Suryawan, seorang antropolog yang secara tak langsung berupaya membangun narasi dari sudut pandang " orang-orang kecil" yang tertindas (Orang Papua). Walau, saya tidak membaca keseluruhan karya Novelis Papua, Aprila Wayar, tetapi pernah sekilas, saya membaca beberapa ulasan di media masa dan media sosial, menunjukan bahwa karya sastranya adalah resistensi orang papua dalam merespon segala bentuk praktek kolonialisasi di tanah Papua. Artinya, upaya-upaya dekolonialisasi (pengetahuan) melalui penulis dan karyanya, merupakan suatu upaya penting bagi masyarakat dan budaya yang tertindas, untuk ; menulis ceritanya sendiri.
Bagian di atas ini, sekedar sebagai pengantar,dalam mendukung resensi buku TERASING DI TANAH SENDIRI ( Home and Exile) Karya Chinua Achebe, yang saya akan sajikan dalam tulisan berikut. Pengantar ini penting, menjadi jalan masuk, sekaligus menjadi simpul dari karya Achebe.
Identitas Buku
Judul : Â Terasing di Tahan Sendiri ( Home and Exile )
Penulis : Â Chinua Achebe
Penerbit : Â Basabasi, Yogyakarta
Penerjemah: Â Nisa Khoiriyah
Tahun Terbit: Â 2022 ( Cetakan pertama, April )
Ketebalan: Â 90+ halaman
Baca Juga : Memahami Budaya di Papua, Melalui Buku Suara-Suara Yang Dicampakkan
Mengenal  Bapak Sastra Afrika Modern
Albert Chinualumogu Achebe atau sapaan populernya Chinua Achebe lahir di Ogini, Nigeria, pada 16 Oktober 1930, dan meninggal di Boston AS, pada tahun 2013. Achebe adalah seorang dosen, penyair dan novelis Afrika, yang namanya diakui sebagai bapak sastra Afrika modern. Selain Terasing di Tanah Sendiri atau Home and Exile (2000), dan karya terkenalnya Things Fall Apart (1958), Ia menghasilkan puluhan karya tulis, dan mendapat beberapa penghargaan prestisius tingkat nasional dan global. Kecenderungan dalam karyanya adalah menekankan upaya "resistensi atau dekolonialisasi pengetahuan" dalam karya sastra, terutama terhadap penulis Eropa yang menulis tentang Afrika dalam gambaran merendahkan, terhadap kebudayan dan masyarakat Afrika. Bagi Achebe, karya seperti inilah yang menjadi justifikasi tindakan para kolonialis dalam segala pandangan dan kebijakan mereka di tanah Afrika.
Isi Buku "Terasing di Tanah Sendiri"
Buku ini sebenarnya cukup tipis, hanya 90+ halaman dan terdapat enam topik cerita. Kira-kira kita bisa menyelesaikan membacanya, hanya beberapa jam saja. Pada bagian ini, secara ringkas saya akan menunjukan poin-poin penting yang saya tangkap setelah membaca buku tersebut.
''Perilaku, adat-istiadat, dan karakter orang-orang Afrika tidak hanya direndahkan, tetapi digambarkan begitu negatif dari semua umat manusia ( hal.29).
Kutipan di atas bisa mewakili isi buku ini, mewakili praktek kolonialisme di Afrika. Ketika orang Eropa memandang serta menempatkan (orang) masyarakat dan kebudayaan Afrika dalam posisi yang rendah-negatif. Walau buku ini tidak tebal, namun, menurut saya, isi buku ini cukup kuat dan dalam, merefleksikan kondisi orang-orang terjajah dan resistensi mereka terhadap para kolonialis Eropa. Secara khusus resistensi dalam dunia sastra. Dikarenakan penulis Eropa menulis cerita tentang Afrika dalam penekanan merendahkan (negatif). Kondisi inilah yang memunculkan resistensi, termasuk datang dari Chinua Achebe yang mengkritik karya tulis orang Eropa terhadap Afrika.
Buku ini diawali dengan cerita tentang masa kecil Achebe dan keluarganya di Ogidi Nigeria. Ayahnya seorang misionaris Kristen, mereka pulang ke kampung halaman mereka, Ogidi, ketika ayahnya pensiun. Bagian ini juga menceritakan Achebe saat masih sekolah dasar dan benturan kepercayaan ; agama Kristen dan sebagian keluarga ayahnya yang masih menganut agama lokal.
Baca juga : Cerita dari kampung di Papua - Kontestasi Politik dan keterpecahan Sosial
Pada bagian kedua, penulis (Achebe) lebih berfokus membicarakan novel Misteri Johnson karya Joyce Cary, bagaimana novel tersebut yang menghina masyarakat dan kebudayaan Afrika. Seperti Achebe menanyakan : "Adakah sebuah kemungkinan Joyce Cary Menulis sebuah novel tentang negeri kami, yang mahasiswa negeria terima sebagai cerita kita (cerita orang Afrika) ? jawaban saya, ketika melihat ke belakang, adalah : kemungkinan tidak. Dan alasan saya bukanlah karena fakta, bahwa Joyce Cary orang eropa, melainkan lebih karena ia adalah produk dari sebuah tradisi yang mempersembahkan Afrika dari yang ia pelajari di sekolah dan sekolah minggu, di majalah-majalah dan di masyarakat Britania secara umum, di akhir abad  sembilan belas. Secara teori penulis yang baik akan mengontrol hal ini, tetapi Cary tidak ( hal.37)
Achebe, sebenarnya tidak menyalahkan Joyce Cary secara pribadi, melainkan Achebe melihat bahwa produk dari sebuah tradisi ; Kolonialisme. Kolonialisme inilah yang memproduksi orang-orang, seperti Cary. Artinya pandangan dan tulisan Cary, dalam novel Mister Johnson adalah produk dari kolonialisme Britania di tanah Afrika, alih-alih Achebe mengkritik dan melawan kolonialisme. Sehingga, menurut Achebe : "Karya tulis akan selalu buruk, ketika wawasan artistik penulis menyediakan tempat untuk stereotip dan kebencian (Hal. 38). Hal ini tergambar dalam karya Joyce Cary.
Baca Juga : Bagian I - sistem Pertanian dan kedaulatan pangan Lokal papua
Selanjutnya, bagian ketiga, Achebe menunjukan bahwa karya Joyce Cary yang merendahkan dan menghina itu menyadarkan ia " bahwa kampung halamannya diserang" kesadaran seperti inilah, menjadi faktor penting dalam  perkembangan pemikiran dan karya Ahebe. Ia menyadari bahwa kolonialisasi didukung juga oleh penulis cerita, termasuk Joyce Cary. Sehingga, melahirkan apa yang Achebe sebut: " penjajahan cerita suatu masyarakat oleh masyarakat lainnya (hal.40)
Sedangkan, pada bab empat dan lima dalam buku tersebut, membahas seputar cerita para kolonialis yang menceritakan (menulis) kisah dan orang Afrika, bahkan mendukung praktek perbudakan pada masa itu. Bagian ini juga, Achebe membangkitkan kesadaran dan kebangkitan penulis Afrika untuk melawan "Budaya Bisu" dengan menulis kisah cerita tempat mereka, antara lain, seperti Amos Tutuola, salah satu  sastrawan besar Afrika. Sehingga dalam bahasa Achebe "Keseimbangan Cerita" . Buku ini diakhiri dengan Achebe menceritakan perjalan pertama ke London pada tahun 1957 : Itulah London, kota metropolis besar yang menguasai negeri saya nun jauh di sana tanpa membiarkan saya memasuki rahasia-rahasia ini, tanpa mengakui bahwa ia pun rapuh seperti saya (hal.85)
Relevansi "Terasing di Tahan Sendiri" bagi Orang Papua
Apa relevansi buku " Home and Exile'' karya Chinua Achebe bagi Papua ? seperti yang telah saya tulis sebelumnya. Kita gampang melihat relevansi pemikiran dan karya Achebe bagi orang Papua. Pertama, kolonialisasi melalui pengetahuan telah dijalankan jauh-jauh hari melalu pendidikan, kebijakan, penulisan, pemberitaan di media, termasuk percakapan di media sosial, dengan sterotip : Orang Papua primitif, malas, bodoh, kasar atau suka berkonflik atau perang antar suku, pemberontak, dan lainnya.Â
Kedua, cerita, sejarah dan pengetahuan orang Papua dihilangkan dalam proses pendidikan formal dan ruang-ruang publik. Sehingga, orang Papua seperti bangsa yang tidak punya cerita, sejarah dan pengetahuan, dan akhirnya " dibuat " bergantung pada bangsa atau kebudayan lain. Bagi saya, dua poin inilah, mirip seperti yang digambarkan dalam karya Achebe di Afrika dan relevan dengan orang Papua saat ini  " Terasing di Tanah Sendiri ".
Hal inilah, yang menopang segala narasi pembangunanisme dan agenda lainnya di Papua, dengan asumsi " Mengangkat derajat dan martabat orang Papua". Padahal, ini omong kosong ! yang ada hanya menambah masalah bagi orang Papua, semakin "Terasing di Tanah Sendiri". Terasing dari cerita, sejarah dan pengetahuan. Terasing dari sumber-sumber penghidupan karena eksploitasi sumber daya alam yang masif dan meningkat. Terasing dari sektor ekomoni, dan terasing karena marginalisasi, serta depopulasi orang Papua.
Pertanyaan penting bagi orang Papua, juga Indonesia Papua umumnya, bagaimana keluar dari kondisi seperti ini ? saya berpikir Chinua Achebe versi Papua, telah hadir dalam sosok Dr. Benny Giay, Antropolog I Ngurah Suryawan, Novelis Aprila Wayar, Muridan Satrio Widjojo dan beberapa orang lainnya, yang berupaya meneliti dan menulis tetang Papua, dari sudut pandang orang Papua.Â
Dan kita butuh lebih banyak Chinua Achebe di Papua, yang akan menulis ulang " Cerita tentang Papua'' dalam upaya keseimbangan cerita, terhadap cerita (pengetahuan) dominan -- negara, yang berupaya merendahkan dan menghilangkan masyarakat dan kebudayan Papua, alih-alih menindas dan menyingkirkan orang Papua.
Saya menutup tulisan ini dengan mengajak kita untuk membaca karya Chinua Achebe atau karya tulis lainnya, yang berupaya " Menulis Cerita Tentang Diri Kita" dalam upaya (de)kolonialisasi. Kita harus menulis. Sehingga, kita bisa menghadirkan apa yang Achebe katakan " Keseimbangan Cerita". Tanpa itu, kita (orang Papua) akan terasing di tanah sendiri, tanah Papua.
*Penulis adalah pengajar/dosen di Universitas Nani Bili Nusantara (UNBN) Sorong, Papua Barat Daya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H