Banyak riset atau tulisan yang telah mengulas bahwa pemekaran daerah (termasuk kampung di Papua), juga perta demokrasi : Pemilu dan Pilkada, telah turut mematik konflik dan keterpecahan sosial dalam masyarakat papua. Tetapi ini harga yang diterima, akibat datangnya nilai baru (demokrasi ala barat) dan ketidaksiapan kita -orang papua, untuk merespon nilai tersebut.
Kedua, memisahkan ruang. Poin ini mungkin tidak dianggap sebagai solusi. Namun saya tetap mengajukan sebagai petimbangan. Bahwa kita perlu membangun kesadaran dan memisahkan ruang. Antara ruang keluarga dan urusan public (politik).Â
Pemisahan ruang ini, cukup berat, karena sebagian orang menganggap, kedua ruang ini memiliki hubungan, dan saling mempengaruhi. Namun, perlu pemaksaan akan kesadaran, agar kita menempatkan kedua urusan tersebut dalam ruang yang berbeda. Bahkan logika pembenaran politik demokrasi di satu tempat dan di tempat lain, diletakan ruang keluarga dan relasi sosialnya.
Ketiga, keluarga sebagai basis politik. Pada dasarnya sebagian besar orang Papua, bahkan Presiden Jokowi lakukan (secara tak langsung), anaknya bisa lolos dalam pencalonan dan berpotensi terpilih sebagai wakil presiden, menunjukan praktek keluarga sebagai basis politik.Â
Di Papua kecenderungan ini sangat dominan, walau ada pengabaian terhadap keluarga dari kepentingan politik. Ketika memaksa keluarga (marga dan kerabat) sebagai basis politik, kita aka terjebak  dan jatuh pada praktek; nepotisme, politik identitas marga, dan sentimen kampungisme, yang akan mengancam demokrasi.Â
Bahkan pemimpin politik, termasuk anggota legislatif yang kita pilih, karena basis kekeluargaan dan kekerabatan, kualitasnya belum tentu baik. Karena asumsi dasarnya, kita memilih orang yang memiliki kedekatan keluarga atau kerabat dengan kita, bukan melihat kualitas, visi dan program yang ditawarkan. Sehingga, mungkin kepentingan pribadi terpenuhi ketika kelurga kita memegang kekuasan, namun kepentingan publik akan menjadi bermasalah. Bahaya lain, Ketika satu marga berhasil secara politik keluarga, marga lain juga akan meniru, dalam skala tertentu, hal ini menciptakan keterpecahan dalam komunitas masyarakat, karena orang terfragmen dalam basis-basis marga atau kampungisme (identitas yang partikular dan sempit).
Catatan Penutup
Mengakhiri tulisan ini, saya mengajak kita untuk melihat benturan nilai dan konsekuensi dari memaksa satu nilai dibanding yang lain. Antara keluarga atau kepentingan politik (rasio-pragmatis), keduanya memiliki logika pembenaran masing-masing. Untuk itu perlu jalan tengah, untuk mengakomodasi kedua spektrum tersebut.Â
Pertama, memahami konteks dan konsekuensi dari demokrasi. Kedua, memisahkan ruang keluarga dan politik demokrasi. Ketiga, memaksa keluarga sebagai basis politik, baik untuk kepentingan keluarga, tetapi buruk untuk demokrasi dan kebaikan bersama. Artinya perlu sikap kedewasaan dalam politik, agar praktek demokrasi tidak melemahkan relasi-relasi sosial.Â
Sebaliknya, relasi-relasi sosial tetap dijaga, dan jangan dijadikannya sebagai basis politik, karena dalam kadar tertentu, kepentingan keluarga yang berada di ruang publik akan mengancam kebaikan bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H