Baca juga : Melihat Misteri Hidup Papua Lebih Dekat Melalui Buku
Bagian ketiga, teori-teori kekerasan. Pada bagian ini penulis menyampaikan bagaimana kekerasan yang terjadi di Papua, yang menyebabkan terjadinya kekerasan itu membudaya (budaya kekerasan). Serta bagaimana pendekatan negara yang salah. Dengan beberapa dukungan teori penulis mengurai bagaimana ketidakadilan yang terjadi di Papua. Sehingga, menyebabkan suara dari masyarakat (perlawanan) dalam berbagai bentuk, namun pendekatan negara dalam merespon sangat salah, akibatnya menyebabkan kekerasan lagi dan lagi. Jadi hal ini membentuk lingkaran (ketidakadilan -suara meminta keadilan - pendekatan negara represif - ketidakadilan -dan seterusnya ).
Di sisi lain, negara mampu memproduksi kebenaran, dengan kekuatan data, media dan intelejen yang ada. Begitu kekerasan yang terjadi karena disebabkan oleh negara, negara mampu mepengaruhi opini publik dengan hantu, orang Papua barbar, primitif, OPM, Separatis dan lainnya. Hantu-hantu itu hanya diproduksi negara untuk melanggengkan kekuasan dan menutupi kesalahan mereka dalam mengatasi ketidakadilan di Papua.
Bagian keempat, Jerat-jerat kekuasan. Bagaimana penulis mengunakan teori kekuasan Michel Foucoult bahwa kekuasan itu ada dimana-mana dalam masyarakat, dengan syarat ada relasi. Artinya, jika ada relasi, apapun pasti ada kekuasaan. Serta beberapa teori kekuasan lainnya, dan penulis menunjukan bagaimana kekuasan itu masuk dalam segala sendi-sendi kehidupan orang Papua yang menyebabkan budaya bisu dan tunduk pada kekuasaan. Kekuasan dalam budaya, moderisme, produksi narasi orang papua malas, primitif, sepatarisme dan cara berpikir lainnya,  yang membuat orang Papua kehilangan jati diri dan kepercayan diri mereka.
Baca Juga : Tumbal Nasionalisme di Papua
Sedangakn pada bagian kelima, Gerakan sosial dan kuasa elit. Saya membaca bagian ini, seperti pukulan telak, atau kritikan atas realitas orang Papua di tahan Papua. Seperti budaya baku tipu, perilaku elit lokal yang berjodoh dengan kolonialime, kemunculan orang kuat lokal (local strongmen), hehehe....ini mirip mata kuliah politik lokal yang pernah saya dapat di kelas S1.  Bagian ini juga membahas  bagaimana orang Papua yang turut menindas sesama orang Papua. bagian ini sangat penting sebagai kritik, sekaligus refleksi bagi orang Papua.
Satu bagian menarik juga dalam pembahasan kelima ini adalah konsep sekolah alam, bagi penulis budaya dan pengetahuan orang Papua datang dari alam, sehingga bagi beliau pendidikan Papua tidak boleh dibatasi oleh tembok-tembok sekolah.
Terakhir, Buku ini diakhiri dengan  sebuah REFLKSI; Menulis sejarah dan identitas bangsa Papua. Bagaimana gerakan intelektual seharusnya dibangun oleh generasi Papua ? Penulis menyampakan bahwa orang Papua  harus melihat sejarah perjalannan mereka, dan menulis sejarah itu. Bagi penulis dokumen sejarah itu ada di Papua, bukan di Jakarta.
" Hanya dengan pengungkapan sejarah-sejarah itulah, orang Papua bisa bercermin dan merefleksikan dirinya dan pada akhirnya menetukan gerakan nasionalisme sendiri (hal. 223) "
Karena, konstruksi sejarah yang dirancang negara, secara sadar dan sengaja menyingkirkan narasi sejarah dari rakyat kecil - orang Papua . Pada bagian ini saya jadi ingat ketika dalam perkuliah saya, beberapa bulan lalu, saya sempat beragumen dalam kelas kuliah ( kebutulan pembicaran diskusi kelas tentang gerakan Aceh merdeka dan Papua) . saya menyampaikan :
" Pendidikan negara ini memaksa kita belajar satu sejarah tunggal yang di produksi di Jakarta (Jawa) dan mengabagaikan, sejarah daerah-daerah lain. Pendidikan formal memaksa kita percaya sejarah yang satu, ini tidak adil. Seolah-olah ekspansi manusia ke dataran Papua 40-an ribu tahun lalu tidak punya sejarah hingga hari ini. Sekali lagi, ini tidak adil. Pendidikan kita menindas ! "