" Melawan budaya bisu adalah usaha untuk menyebarkan gagasan bahwa menolak tunduk pada pembisuan yang dilakukan oleh negara dan kekuasaannya adalah satu-satunya langkah untuk menegakkan martabat kemanusian itu sendiri.
" Penulisan sejarah harus lebih dari sekedar cerita tentang presiden, raja, menteri, pemerintah; sejarah juga harus cerita tentang orang biasa, pemikaran, sudut pandang, dan perasan mereka. Â
Suara-Suara yang dicampakkan - I Ngurah Suryawan. Buku ini merupakan kumpulan essay dari penulis, dengan latar belakang pendidikan antropologi dan juga menjadi pengajar di salah satu kampus besar di Papua. Perspektif dan pendekatan yang digunakan dalam buku ini lebih menekankan sisi antropologi (budaya). Buku ini terdiri dari empat bagian
Apa sih, inti pembahasan dari enam bagian dalam buku ini ?
Bagian pertama, pada bagian pendahuluan ini, penulis menyampaiakan bagaimana budaya bisu yang terjadi pada masyarakat Papua yang disebabkan oleh kekerasan yang dilakukan oleh negara, sejak pra intergrasi hingga hari ini. Narasi dan suara yang otentik dari masyarakat Papua itu dibungkam. Selain itu,orang Papua sendiri takut menyampaikan sejarah mereka. Narasi dan sejarah penguasa-negara yang selalu diproduksi dan ditampilkan. Namun, bagi orang Papua hal itu tetap terpatri dalam benak-ingat orang Papua, bagaimana kekerasan yang dialami dan sejarah meraka yang dibungkam.
" Kami tidak diperlakukan sebagai manusia, tetapi sebagai objek pembangunan, objek kebijakan, objek turisme, objek militer dan lainnya (Hal.16) "
Penulis juga menawarkan semacam gagasan untuk melawan budaya bisu tersebut, bagi penulis " melawan praktek budaya bisu adalah melawan penggingkaran terhadap kemanusian di tanah Papua (Hal.21) "
Bagian kedua, Antropolgi dan perspektif humanisme. Jujur ini salah satu bagian yang saya paling suka dalam buku ini, bagaimana penulis menempatkan ilmu antropologi sebagai ilmu yang membebasakan, bahkan penulis mengkritik para antropolog, akademisi dan kampus yang memanfaatkan ilmu pengetahuan sebagai basis kekuasaan (melayani penguasa).  " Universitas hanya menjadi kepanjang tangan saja dari birokrasi pemerintahan  ". Bagi penulis ilmu sosial humaniora harus menjadi medium bagi masyarakat yang dikalahkan oleh kekuasaan , bukan pelayan kekuasaan.
Dengan dasar itulah, dalam buku ini penulis berupaya menunjukan bahwa ilmu sosial humaniora itu, mampu menjadi medium bagi masyarakat yang dikalahkan, yakni orang Papua, sehingga argumenya berpihak pada suara-suara yang dicampakkan-orang Papua.Pada bagian ini juga, penulis memaparkan bagaimana sejarah lisan masyarakat yang dikubur oleh negara, dan negara memproduksi sejarah mereka dan memaksa masyarakat mengikuti dan mengakui kebenarannya.
Penulis mencoba mengurai bagaimana politik budaya, atau dengan bahasa sederhanya kekuasaan yang memproduksi budaya, ada hegemoni. Sehingga ada masyarakat yang terkalah dan tunduk pada budaya penguasa (negara).