Mohon tunggu...
Jonny Hutahaean
Jonny Hutahaean Mohon Tunggu... Wiraswasta - tinggi badan 178 cm, berat badan 80 kg

Sarjana Strata 1, hobby membaca

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pecel Lele dan UU Cipta Kerja

7 Oktober 2020   17:40 Diperbarui: 14 Desember 2021   11:27 1871
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengunjuk rasa yang tergabung dalam Front Rakyat Tolak Omnibus Law (Frontal) membawa spanduk saat melakukan aksi unjuk rasa di Depan Gedung DPRD Sulawesi Tengah di Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (14/8/2020). (ANTARA FOTO/MOHAMMAD HAMZAH)

Tahun 1998 saat krisis ekonomi terjadi, saya kena PHK dari perusahaan tempat saya bekerja. Pusing dan sedih tentunya, masih untung ada pesangon sepuluh bulan gaji, sepuluh bulan gaji itu karena masa kerja saya memang sudah sepuluh tahun.

Tentu saya rehat sejenak, memulihkan gengsi dan mengobati derita batin, mengembalikan rasa percaya diri, lalu kemudian berpikir, what next?

Dengan atau tanpa saya, roda kehidupan terus berputar. Usia yang sudah menanjak membuat sulit untuk melamar pekerjaan yang baru, lagi pula ke mana hendak melamar, semua usaha kacau balau saat itu. Lantas saya teringat dan terhibur, segepok pesangon sepuluh bulan gaji masih ada di bawah bantal, kalau bantalnya ikut dihitung, bertambahlah sedikit.

Begitulah ya, nasib susah ditebak. Tetangga tiba-tiba menawarkan gerobak jualannya ke saya, karena dia hendak pulang ke kampung halaman menjadi petani sayur katanya. 

Gerobak untuk jualan pecel lele. Ok, tapi harganya sekian ya, kata saya, setuju dan deal, seminggu kemudian saya mulai berbisnis, jualan pecel lele mulai pkl 18.00 WIB sd 21.00 WIB, tempat jualan sangat bergantung pada satpol pp. 

Jika mereka razia di jalan A, saya jualan di jalan B, jika razia di jalan B saya pindah ke C, jika kepergok tak bisa dihindari, saya tawarkan dua ekor lele goreng berikut sambal terasi yang sedap dan harum, tentu nasi dan es teh manis harus ikut. Itu jurus untuk selamat, dan biasanya memang selamat, hanya keuntungan yang menurun.

Jadi, pagi-pagi saya ke pasar membeli lele, bumbu untuk sambal terasi, beserta lalapan. Pulang ke rumah, membersihkan lele, mengulek sambal, membersihkan lalapan, mencuci piring dan gelas. Siang untuk memasak air minum, dan nasi untuk dijual. 

Pkl 17.00 WIB mendorong gerobak ke tempat jualan, menggelar tenda, meja dan kursi untuk makan, memasang tungku. Siap menerima pelanggan, siap menampung pemasukan.

Pkl 21.30 gulung tenda, gerobak dorong pulang. Di rumah, gelar tikar, hitung pemasukan. Setelah dikurangi dengan modal bahan-bahan, dikurangi juga dengan penyusutan asset gerobak, maka yang tersisa adalah keuntungan, upah dari semua keringat yang menetes hari itu, lumayan dari pada menganggur dan meratap.

Sambal terasi saya sangat enak, itu kata pelanggan ya. Buktinya pelanggan makin banyak, syukurlah. Tapi kini saya kewalahan melayani. 

Pesanan meja-1 untuk lima orang belum selesai, sudah datang 4 orang lagi, dan karena sudah lapar, yang datang terakhir ini tidak sabar menunggu. Memang sih bunyi perut keroncongan sudah terdengar cukup nyaring.

Dari pada pusing karena banyak pelanggan, maka saya rekrut seorang karyawan untuk membantu saya. Bulan berikutnya harus ditambah satu orang lagi, dan lagi, dan lagi, kini karyawan saya sudah ada lima orang.

Maka masalah saya kini bertambah karena pengeluaran bertambah untuk gaji lima orang. Lho, kan pemasukanmu juga bertambah kan? ya jugaaa. Tetapi masalahnya adalah ketika harga cabe meroket dan harga lele naik memanjat langit, sedangkan harga jual pecel lele tidak naik, gaji lima karyawan ini tidak boleh turun. 

Masalah lain, ketika pecel lele tidak mempan agar selamat dari razia satpol pp, tenda harus digulung, tetapi gaji harus tetap di bayar. Bah, makin lama jualan pecel lele kok makin rumit ya....

Lima karyawan bilang begini: pak, banyak atau sedikit yang laku, pokoknya gaji kami per hari sekian dengan uang makan segitu dan hari Sabtu harus beda karena pelanggan lebih banyak. Tuntutan itu wajar sebetulnya, sayanya yang pusing. Masak kita jualan pecel lele tapi gaji hanya cukup untuk makan ikan asin? Begitu kata mereka. Betulkan? Cuma saya bingung, berapa gaji yang mereka minta andai kata saya jualan emas?

Tampaknya ini takdir, balasan dari tuntutan saya sewaktu karyawan sebelum di PHK. Saya juga dulu begitu, maka saat menjadi pengusaha harus saya hadapi hal yang sama.

Tapi, pelajaran yang saya petik adalah, jika saya menuntut gaji 3 juta per bulan, maka produktifitas saya harus menghasilkan 6 juta per bulan, dan itu bukan penjajahan, sebab ada biaya-biaya lain selain gaji. Misalnya biaya keamanan preman, preman inipun ada dua jenis, preman kriminal dan preman politik, yang jelas biaya preman politik jauh lebih tinggi. Jika produktifitasmu 6 juta semuanya untuk dirimu, samalah itu dengan waktu saya sendirian jualan pecel lele tanpa karyawan, semua hasil adalah milikku sendiri.

Maka kini saya menjadi paham, gaji mestinya ditetapkan berdasarkan produktifitas. Produktifitas itu berkaitan dengan jam kerja terutama dengan efisiensi kerja. Terampil tetapi malas, rajin tetapi tidak terampil, keduanya sama-sama tidak berguna bukan?

Akibatnya saya pun heran, mengapa pasal penetapan upah berdasarkan waktu kerja dan hasil kerja ikut ditentang dan di demo?

Kalau pasal-pasal lainnya yang didemo, saya kurang paham karena belum membaca isi UU-nya.

Beginilah cerita teman, waktu sore-sore saya dan dia duduk di teras menyeruput wedang jahe, pasti ditemani pisang goreng. Saat itu dia belum jualan pecel lele karena hari masih siang.

Begitulah pengusah pecel lele zaman sekarang .....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun