Mohon tunggu...
Jonny Hutahaean
Jonny Hutahaean Mohon Tunggu... Wiraswasta - tinggi badan 178 cm, berat badan 80 kg

Sarjana Strata 1, hobby membaca

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menghapus P4 adalah Kesalahan yang Fatal?

24 Mei 2018   18:10 Diperbarui: 24 Mei 2018   18:29 1198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebuah kesalahan fatal, yang kebanyakan dari kita tidak mau mengakuinya, adalah penghapusan P4, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Kesuksesan memaksa penguasa rezim ORBA turun dari singgasana kekuasaan membuat mata dan pikiran hanyut ke dalam euforia. Terbuai oleh mimpi, seolah-olah masa depan serta merta pasti menjadi lebih baik dengan jatuhnya sang penguasa rezim ORBA itu.

Mimpi akan masa depan yang bahagia itulah membuat kita semua, atau hampir semua kita, tidak lagi memiliki kewaspadaan yang cukup untuk menyadari bahwa kondisi trance yang seperti itu adalah sebuah kondisi dimana penyusup-penyusup sangat mudah masuk ke dalam pikiran dan rasio kita. Kita semua setuju ketika sesaat setelah kejatuhan rezim ORBA, mendikbud saat itu menghapus P4. 

Di mata kita semua, P4 itu hanya semacam alat doktrin rezim ORBA untuk mencuci otak rakyat, dan karena itu harus dibinasakan bersama-sama dengan rezim yang membuat P4 itu, tumpas kelor. Tumpas kelor memang sering menjadi karakteristik pergantian suatu rezim, baik rezim Negara begitu juga di perusahaan.

Penghapusan P4 menjadi sebuah kunci pembuka pintu masuknya radikalisme, bertumbuh dengan suburnya anti pluralisme, mengakarnya intoleransi, yang salah satu hasilnya yang sangat mengerikan adalah "kepercayaan sosial (Social Trust) yang sangat minim", baik antar anggota masyarakat maupun masyarakat ke pemerintah. 

Berita hoaks penistaan agama di Bandung bisa memicu badai kecemasan dan ketakutan di Medan yang jauhnya 2000 km lebih dari Bandung, menjadi salah satu dari ciri-ciri rendahnya kepercayaan sosial itu. Masyarakat terfragmentasi bukan sekedar karena kepentingan dan profesi, tetapi bahkan hanya karena "tokoh idola".

Kita amini penghapusan P4, karena menurut kita itu hanya alat yang digunakan rezim untuk melanggengkan kekuasaan. Tetapi saya setengah mati merivew saat mengikuti penataran P4 pola 100 jam, sewaktu menjadi mahasiswa baru lebih dari duapuluh tahun yang lalu, saya belum menemukan doktrin-doktrin yang bertujuan  demi kelanggengan kekuasaan rezim. 

Dari 36 butir tafsir Pancasila yang diajarkan saat itu, tidak ada satu butir sajapun untuk kepentingan rezim penguasa saat itu. Ke-36 butir itu sangat bagus, mengandung nilai spiritual keilahian yang tinggi dan relevan sepanjang masa. Penataran pola 100 jam itu dulu bagiku memang sedikit membosankan, tetapi hal itu lebih disebabkan oleh metode pengajaran, bukan karena konteks atau isi.

Anda yang membaca tulisan ini saya sarankan membuka kembali dokumen anda tentang konteks dan isi dari penataran P4.

Hasil yang kita tuai saat ini adalah teriakan kosong "saya Pancasila" dengan tangan mengacung terkepal ke atas, tetapi teriakan itu minus penghayatan apalagi pengamalan, sebab buku pedoman untuk menghayati dan mengamalkan sudah dibakar dan dibinasakan. 

Kita amini saat BP7 dibubarkan, kini kita harus membuat lagi badan, institusi atau lembaga yang khusus mengendalikan intoleransi, mengendalikan ujaran-ujaran SARA, dan lain-lainlah.

Pancasila adalah dasar Negara, satu-satunya dasar yang mampu menyediakan tempat berpijak bagi keragaman suku dan agama, satu-satunya azas yang menempatkan semua suku dan agama pada derajat kemuliaan yang sama. Tanpa Pancasila, NKRI bubar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun