Mohon tunggu...
Jonny Hutahaean
Jonny Hutahaean Mohon Tunggu... Wiraswasta - tinggi badan 178 cm, berat badan 80 kg

Sarjana Strata 1, hobby membaca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kualitas Tinggi Jika Kuantitas Sedikit, Itu Jargon yang Mematikan

16 Maret 2018   14:51 Diperbarui: 16 Maret 2018   14:58 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Berita di Harian Kompas Hari ini, Jumat 16 Maret 2018, di halaman satu, Judulnya : Pendidikan Masih Berkutat di Bawah, mengiris hati dan menyentak jiwa. Skor rata-rata PISA untuk anak berusia 15 tahun adalah 493, Indonesia hanya meraih 403, sangat jauh di bawah rata-rata. Vietnam, yang pendapatan perkapitapenduduknya  separuh dari Indonesia, meraih angka yang fantastis, yaitu 528, mengalahkan Hongkong dan Korea selatan.

ADA APA INI?

'1. Berkutat Pada Hal Teknis

Telah lama di ranah pendidikan kita lahir jargon ganti menteri ganti kebijakan. Tampaknya jargon ini tetap bertahan hingga kini, nanti, atau bahkan selama-lamanya. Tengoklah, dari Pak M Nuh, ke Pak Anis Baswedan, lalu ke Pak Prof Muhajir, kebijakan pendidikan tidak memiliki arah yang jelas, sebab tidak ada yang mau (mampu?) memikirkan dan merancangnya.

Jika anda menggigit cabe rawit, serta merta pada saat itu juga rasa pedas di lidah langsung terasa. Bukan seperti itu pada ranah pendidikan. Investasi pendidikan saat ini baru menunjukkan hasil 20 tahun kemudian atau bahkan lebih. Itulah sebabnya selalu diteriakkan bahwa dibutuhkan konsistensi dan kontinuitas dalam mengelola pendidikan nasional, dan karena itu harus ada kebijakan umum yang dapat menjadi acuan dalam selang waktu yang lama, orang menyebutnya dengan Blue Print.

Itulah yang tidak kita punyai. Jargon ganti menteri ganti kebijakan masih tetap begitu. Akibatnya adalah siapapun yang menjabat menteri pendidikan akan selalu berkutat hanya pada hal-hal yang bersifat teknis. Gerakan mengantar anak ke sekolah, Ujian Nasional Berbasis Komputer (computer based), sitem zonasi pada penerimaan siswa baru, Full Day School yang tidak jadi itu, mengutak-atik sistem penerimaan mahasiswa baru, semuanya itu bersifat teknis semata, dan hanya disitulah setiap menteri pendidikan kita berkutat, atau memang sebegitu saja kemampuannya (?).

Jadi jika anda bertanya, mengapa Vietnam yang dahulu kala jauh di bawah kita dan lebih miskin pula, kini bisa melompat dan memunggungi kita?... sangat mudah menjawab pertanyaan seperti itu. Karena kemampuan menteri pendidikan kita hanya berkutat pada hal-hal teknis saja, itulah jawabannya. Terimakasih kepada Vietnam, anda telah menunjukkan bahwa bukan faktor uang yang menentukan mutu pendidikan, tetapi hasrat, kemauan, ambisi, dan kebijakan yang tepat.

'2. Terkurung Pada Paradigma Kualitas dan Kuantitas

Belakangan ini sering ter dengar frase kitamengutamakan kualitas, bukan kuantitas. Orang-orang kita yang berada pada posisi pemutus kebijakan tampak masih terkurung pada relasi terbalik antara kualitas dan kuantitas, bahwa kualitas yang tinggi hanya bisa diraih jika kuantitasnya sedikit, dan  jika kuantitas meningkat maka kualitas menurun.

Paradigma relasi terbalik kualitas -- kuantitas ini adalah paradigma yang sangat berbahaya, silent desease, membunuh perlahan-lahan sehingga yang dibunuh tidak sadar bahwa tubuh dan jiwanya sedang digerogoti pelan-pelan sampai suatu saat kolaps dan mampus.

Ide mengurangi kuota mahasiswa baru PTN agar mutunya dapat ditingkatkan dapat menjadi contoh betapa paradigma relasi terbalik kualitas-kuantitas itu masih mengurung dan memenjarakan kita. Gagasan mengurangi kuota mahasiswa baru PTN adalah gagasan yang mengabaikan fakta bahwa tingkat partisipasi pendidikan tinggi masih sangat rendah. Artinya, jumlah siswa menengah yang melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan tinggi masih sangat rendah. Ironis, jika yang sedikit itu masih harus dikurangi lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun