Mohon tunggu...
Jonny Hutahaean
Jonny Hutahaean Mohon Tunggu... Wiraswasta - tinggi badan 178 cm, berat badan 80 kg

Sarjana Strata 1, hobby membaca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Epidemi Narkoba, Lebih dari Sekadar Darurat

11 Maret 2018   17:09 Diperbarui: 11 Maret 2018   17:24 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Megapolitan - Kompas.com

Sambil menyetir menuju ke kantor, saya berdiskusi ringan dengan teman yang nebeng karena kantor yang berdekatan. Untungnya (?) jalan tol dan yang bukan tol keduanya lumayan macet sehingga diskusi ringan kami bisa berlangsung smart. Yang kami diskusikan itu adalah tentang epidemi narkoba yang sedang disiarkan lewat siaran radio.

Teman saya sangat setuju dengan pendapat salah seorang pemirsa radio, bahwa faktor kunci mengatasi epidemi ini adalah memutus suplai. Coba, kalau tidak ada barang, tak ada pecandu. Biarlah para pecandu itu menderita menahan kecanduan, sampai akhirnya sembuh.

Sementara saya lebih setuju kepada pendapat pemirsa lain, bahwa demand yang harus diputus. Coba, kalau tidak ada yang membeli, mafia narkoba tidak akan datang ke sini, katanya, dan saya lebih menyetujui itu.

Oh, suplai dan demand itu ibarat ayam dan telor ya, mana yang lebih dahulu? Tetapi yang paling logis dan paling mudah itu adalah memutus suplai. Itu memerlukan ketegasan, terutama kejujuran.  Kata teman ini. Coba, kalau tidak ada satupun yang mau disuap apalagi terlibat menjadi beking, suplai itu mudah diputus. Kan tidak mungkin Negara bisa kalah menghadapi bandar narkoba, itu jika semua aparat Negara bersih, jujur, dan berkomitmen memberantas narkoba. Begitu teman ini melanjutkan.

Bah, kau menuduh ada  aparat Negara terlibat? hati-hati kau kawan, kata saya. Bisa-bisa kau diciduk dengan tuduhan pencemaran nama baik.

Hei, saya rasa orang paling bodohpun bisa mengerti mengapa lapas yang dikelola negara, tempat para terhukum narkoba menjalani hukuman, justru malah menjadi kantor paling aman bagi bandar narkoba untuk mengendalikan operasinya. Sampai-sampai ada bandar yang dengan sengaja membiarkan dirinya tertangkap, hanya agar dimasukkan ke lapas, dan menjadikan lapas sebagai kantor pusat kendalinya. Bayangkan, dibiayai dan dijaga oleh Negara. 

Teman ini berkata agak emosional, hanyut oleh perasaan sendiri. Lagi pula, bisakah kau jelaskan mengapa kontainer berisi narkoba itu bisa lolos dari laut ke pelabuhan, dari pelabuhan ke darat, lolos melenggang di jalan raya yang penuh orang lalu-lalang menuju suatu tempat? Ayo, jelaskan itu kawan.

Pahami apa makna dibalik berita ini, pada Januari 2014, mantan ketua MK ditangkap karena penyalah gunaan narkoba, dan pada Agustus 2016 enam polisi Indonesia diciduk di Malasya atas kasus Narkoba, Mei 2015 seorang hakim, agustus 2015 hakim lagi, Oktober 2015 anggota DPRD, November 2015 anggota DPRD lagi, Februari 2016 anggota DPR, Maret 2016 Bupati, semua terciduk karena telah menjadi pengguna dan pecandu barang jahanam, narkoba. Lihat profesi mereka, legislatif, eksekutif, dan yudikatif, semua sendi demokrasi itu kawan.

Bah, betul juga kawan ini, pikir saya. Tetapi kawan, yang kau sebutkan itu memerlukan tindakan tegas, terutama kejujuran dan ketulusan, serta komitmen untuk memberantas dan membinasakan semua bandar narkoba. Nah, di situlah letak kesulitan yang amat sangat sulit itu. Kalau yang ada hanya satu orang, atau bahkan seratus orang seperti yang kau sebutkan itu, itu tidak cukup kawan. 

Kita semua mesti jujur dan berkomitmen, pemerintah dan masyarakat. Bukan komitmen di mulut, atau di TV, atau di Koran, atau di seminar, atau di khotbah-khotbah, seperti yang selama ini, tetapi komitmen yang diimplementasikan menjadi wujud yang nyata di lapangan. Nah, ini kawan, inilah kesulitan yang maha sulit itu. Kata saya.

Bah, mengapa kau bilang itu sulit? Bukankah memang harus begitu? Tanya temanku ini sedikit bingung. Tengok kawan, berton-ton narkoba sudah ditangkap dan disita, bukankah itu berita gembira? Bukankah itu adalah wujud ketegasan dan komitmen pemerintah? Tanya temanku ini.

Hei kawan, kalau uang BPJS, uang yang untuk kebutuhan dasar terutama buat rakyat miskin, itu saja dengan tega-teganya masih ditilep, apa yang membuatnya menolak uang suap dari bandar narkoba? Kalau uang bantuan bencana saja dikorupsi, kalau uang pengadaan kitab suci sajapun dikorupsi, lalu apa alasan untuk menolak uang suap dari bandar narkoba? Lihat kawan, menemukan orang jujur bukan sekedar sesulit menemukan jarum di tumpukan jerami, tetapi sesulit menemukan sehelai jerami di tumpukan jarum. Kata saya.

Bah, aneh kau ini, perumpamaan dari mana pula itu? Tanya teman ini.

Sebenarnya mudah menemukan jarum di tumpukan jerami kawan, bakar jeraminya, nanti jarumnya terlihat. Tetapi menemukan sehelai jerami di tumpukan jarum, kau tidak bisa membakarnya sebab jeraminya yang terbakar, lagi pula, tanganmu akan tertusuk jarum di banyak titik, perih itu kawan. Saya jawab begitu.

Kita kembali ke suplai dan deman. Alasan mengapa bandar-bandar internasional menjadikan negeri ini sebagai pasar tujuan narkoba, adalah karena menurut hasil riset marketing mereka, di sini terdapat sangat banyak pecandu, karena itu menjadi pasar gemuk yang menggiurkan. 

Jadi yang betul itu adalah, bandar datang karena ada kebutuhan yang banyak, suplai datang karena ada deman, itu hukum ekonomi. Saya jelaskan begitu. Kebutuhan yang sangat banyak itu, bahkan akan memicu hasrat para bandar untuk tidak lagi mendatangkan barang jahanam itu dari luar ke dalam, tetapi akan mendirikan pabriknya di dalam Negara ini sendiri. Itu sebenarnya sudah terjadi kok.

Huh, apa yang salah sih, kok di Negara yang ber-Pancasila dan beragama bisa ada sangat banyak pecandu narkoba? Kawan ini mendesah.

Saya jawab, kita semua salah. Bapak/ibu, kakak/abang, ketua RT/RW, Lurah, Polres/Polsek, guru dan para pengkhotbah di rumah ibadah, polisi dan tentara, dan seterusnya sampai ke atas, semua salah. Karena kita semua salah, maka untuk memperbaiki kesalahan kita semua harus berkomitmen tulus dan jujur, berantas narkoba. 

Nah, kau lihat kawan, betapa sulitnya menyatukan komitmen seperti yang kau bilang itu, ya kan? Andai kata, meski ini hanya mimpi, kita bisa menyatukan hasrat, komitmen, dan kejujuran untuk memberantas narkoba, maka lebih mudah kalau kita sepakat untuk berhenti mengkonsumsi narkoba. Itu otomatis membuat bandar narkoba hengkang dari sini.

Yeah, saya jadi frustasi, kata teman ini. Ternyata memutus suplai sama sulitnya dengan menihilkan demand. Untung ada secercah harapan, yaitu sudah berton-ton dan jutaan butir ekstasi yang diciduk polisi, semoga mereka tetap bekerja keras dan jujur. Kata teman ini lagi.

Betul itu kawan, itu secercah harapan, sekaligus gambaran menyedihkan. Bayangkan, berapa ratus ton dan berapa ratus juta butir sabu-sabu dan ekstasi yang tidak tertangkap dan lalu menyebar di seantero negara ini, bayangkan juga itu kawan. Kemungkinan sejuta butir ekstasi yang tertangkap itu hanyalah puncak kecil gunung es di tengah samudera. 

Begitulah gambarannya kawan. Narkoba itu sudah jadi epidemi yang jauh lebih menakutkan dari epidemi HIV dan epidemi difteri. Sudah merasuk ke semua lapisan, menerobos semua tembok, dan mengangkangi semua aturan. Ini bukan sekedar darurat, tetapi lebih dari itu.

Bah, kenapa bisa jadi begini ya? Lalu bagaimana dong masa depan Negara ini? Tanya temanku ini.

Untung sudah sampai kantor, jadi saya selamat dari keharusan menjawab pertanyaan sulit dari teman ini, bagai masa depan negara ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun